‘Oko’Mama’: Sarana Dialog yang (paling) Mujarab untuk Penyelesaian Konflik
Refleksi Konflik di Pubabu-Besipae Amanuban Selatan - TTS
Setelah Kemerdekan RI tanggal 17 Agustus 2020, banyak peristiwa yang kemudian menjadi catatan penting untuk kita semua refleksikan bersama, terkhusus di daerah saya, Provinsi NTT. Salah satu momen yang cukup membanggakan hampir semua masyarakat NTT pada umumnya, dan masyarakat TTS pada khususnya adalah saat di mana Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat dari daerah Nunkolo Kabupaten TTS pada Upacara Peringatan HUT RI ke 75 yang lalu. Kebahagiaan dan kebanggaan masyarakat terpancar lewat postingan di media sosial masing-masing orang. Kita bisa lihat sendiri, banyak sekali warganet yang mengungkapkan rasa senang dan bangganya lewat beragam status dan foto-foto unik dan khas. Semua itu, adalah ungkapan dan respon spontan yang paling nyata dari masayarakat terhadap apa yang terjadi.
Terlepas dari rasa bangga dan bahagianya masyarakat atas pakaian adat yang dikenakan oleh Presiden Jokowi, ternyata tidak sedikit juga masyarakat NTT yang memberi argumen berlawanan sembari mengkritisi fenomena yang terjadi setelahnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa makna dibalik pakaian adat yang dikenakan Presiden, sebenarnya adalah ‘gambaran semu’ akan realita kehidupan masyarakat TTS pada khususnya. Hal ini terjadi lantaran persis sehari setelah upacara peringatan HUT RI, tepatnya pada Selasa, 18 Agustus 2020, di mana Presiden mengenakan pakaian adat dari salah satu daerah di Kabupaten TTS, ternyata di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, terkhusus di daerah Pubabu-Besipae, masyarakat setempat ‘digusur’ atau ‘diusir paksa’ oleh Pemerintah Provinsi NTT dari tanah mereka sendiri, tempat mereka tinggal dan hidup di atasnya. Persoalan ini sudah cukup lama menjadi polemik antara Pemprov dan warga setempat. Namun sampai saat ini masih belum ada titik temu yang jelas untuk penyelesaiaan persoalan tersebut. Banyak warga Pubabu-Besipae menolak tanah mereka ‘diambil’ oleh Pemprov. Sedangkan Pemprov sendiri mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah aset milik Pemprov yang nantinya akan dikembangkan dan dikelola untuk kesejahteraan masyarakat (Kompas.com 21/8/2020). Tarik-ulur persoalan kepemilikan tanah ini kemudian melahirkan banyak opini dan argumentasi dari segenap elemen masyarakat.
Menilik
realita yang semakin ‘memanas’ dan munculnya banyak argumen serta kritik yang menurut
saya sedikit ‘melebar’ dari persoalan utama, maka ada beberapa hal yang ingin
saya sampaikan dalam tulisan ini, terkait persoalan Pubabu-Besipae dari sudut
pandang budaya/tradisi masyarakat TTS pada umumnya.
Kita
tahu bersama bahwa di Pulau Timor, terdapat 3 Suku besar yakni Suku Tetun (daerah
Belu-Malaka), Suku Dawan (daerah TTS, TTU, Kupang), dan Suku Helong (daerah Kupang
Barat). Salah satu suku yang cukup besar adalah suku Dawan (atoin meto). Budaya atoin meto ini dibentuk oleh sub-suku antara lain terdiri dari
sub-suku Amanuban, Amanatun dan Mollo di TTS, sub-suku Miomafo, Biboki dan
Insana di TTU), sub-suku Kopas, Timaus, Amfoang, Fatuleu, Sonba'i dan Nairasi
di Kabupaten Kupang (Soh.A.Z dan Indrayana, M.N.DK, 2008:13).
Ketiga
suku di Pulau Timor tersebut memiliki adat dan budaya yang hampir sama secara umum
tetapi memiliki kekayaan tradisi dan bahasa yang beragam. Salah satunya adalah
budaya mengunyah sirih pinang, atau yang dikenal dengan sebutan mama pauh manus. Sirih dan pinang yang
disuguhkan kepada seseorang biasanya diletakan dalam sebuah wadah yang disebut oko’mama. Wadah ini bukanlah sekedar
sebuah tempat untuk meyuguhkan sirih dan pinang namun memiliki bentuk dan
fungsi serta makna yang sangat kaya. Eksistensi budaya oko’mama yang mencerminakn identitas diri, pandangan hidup dan
sarana sosial masyarakat Dawan telah ada sejak dulu. Tak ada seorang pun yang
mengetahui kapan dimulainya budaya mama
(mengunyah) sirih pinang ini. Namun demikian menurut para tetua dan pemangku
adat atoin meto di kabupaten Timor
Tengah Selatan menjelaskan bahwa budaya oko’mama
merupakan peninggalan dari leluhur atoin
meto yang masih (patut) diwariskan sampai sekarang.
Berangkat
dari fakta singkat sejarah di atas, perlu kita tahu bahwa, selain sebagai kebiasaan tempat meletakan pinang dan siri, oko’mama juga dijadikan sebagai salah
satu sarana komunikasi untuk membangun dialog secara intens dari hati ke hati
di antara dua orang. Kalau mau ditelaah lebih jauh, sebenarnya oko’mama sama pentingnya dengan media
komunikasi yang ada saat ini seperti media sosial, surat undangan, surat kabar,
website, internet dll. Sekalipun bentuk oko’mama
itu sangat sederhana, namun bernilai penting dan memiliki efek yang sangat
besar bagi orang yang menerimanya dalam suatu komunikasi atau dialog dua arah.
Salah satu kisah yang paling sering kita lihat adalah ketika salah satu keluarga ingin mengadakan acara
pernikahan atau sejenisnya, maka tuan pesta atau orang yang dipercayakan untuk
mengundang orang lain, akan mengunjungi tetangga-tetangga dan sanak saudaranya
dengan membawa oko’mama sebagai media untuk mengungkapkan
tujuan kedatangannya.
Untuk orang Timor secara umum,
pasti mengetahui bahwa cara yang paling sopan untuk memulai
sebuah pembicaraan yang formal (penting) dengan orang lain adalah melalui oko’mama yang berfungsi sebagai ‘pembuka
pembicaraan’. Hal ini berlaku untuk semua kalangan, baik dengan keluarga
sendiri ataupun saat menjamu pendatang baru di suatu daerah. Selain itu, oko’mama yang disuguhkan juga bisa
berfungsi sebagai sarana pemersatu atau penyelesaian konflik. Saat seorang
menyodorkan oko’mama, pihak penerima
sudah mengetahui bahwa apa yang akan disampaikan adalah penting sifatnya, sebab
hal itu tidak berlaku pada saat-saat non-formal. Sehingga setelah menyodorkan oko’mama pembawa berita akan lebih
leluasa mengungkapkan isi hatinya, sebab dialog telah terbuka lewat penerimaan oko’mama oleh si penerima.
Dari
sini, saya kira kita semua sudah bisa paham bahwa untuk menyelesaikan suatu
persoalan, secara khusus masalah di daerah Pubabu-Besipae, TTS, tidak bisa
hanya membangun dialog tanpa sarana budaya/tradisi yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat setempat. Saya menilai, selama ini, pendekatan yang digunakan
Pemprov NTT untuk berdialog dengan warga Pubabu-Besipae masih sebatas dialog
biasa, layaknya atasan-bawahan, atau pemerintah-warga (bersifat non-formal),
sehingga tidak ada titik temu dan akhirnya perdebatan pun tak berhenti dan
terus berlangsung sampai sekarang. Oleh karena itu, hemat saya, persoalan
kepemilikan tanah ini tidak bisa didialogkan secara sepihak atau biasa-biasa
saja. Harus dikemas dalam balutan adat kebiasaan atau tradisi setempat, dan
salah satunya adalah dengan menggunakan sarana oko’mama. Semua elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan
saksi sejarah, harus dilibatkan dalam dialog tersebut sehingga bisa tercipta
kesepakatan dari hati ke hati. Saya sangat yakin, jika Pemprov membangun dialog
menggunakan sarana oko’mama, maka
masyarakat adat di wilayah Pubabu-Besipae bisa memahami dan menyampaikan
aspirasi mereka secara baik dan adil. Orang Soe mengatakan dalam dialeknya: ‘kalau su kas dudu oko’mama’ maka konflik
atau permasalahan apapun itu bisa cepat terselesaikan.
Karena
itu, persoalan ini harus dibicarakan lagi (dudu
ba’omong) secara bersama antara Pemprov dan masyarakat setempat, juga
dengan tokoh adat dan tokoh agama, dan mereka yang mengetahui secara benar dan
jelas seluk-beluk perjalanan sejarah tanah ulayat di sekitar daerah
Pubabu-Besipae, tanpa intimidasi atau provokasi dari pihak lain. Penelusuran
sejarah masa lalu sangat penting agar tidak terjadi salah kaprah dari
masih-masing pihak. Tentunya pembicaraan itu harus ‘dialasi’ dengan oko’mama sehingga dialog bisa
berlangsung secara kekeluargaan, musyawarah dan mufakat untuk kebaikan kita
bersama.
Sumber:
Soh,
Andre Z, dan Indrayana, Maria N.D.K. 2008. Timor Kupang dahulu dan sekarang.
Jakarta: Penerbit Yayasan Kelopak (kelompok Penggerak Aktivitas Kebudayaan)
Tualaka, D. (2019). Degradasi
Fungsi, Makna dan Nilai Budaya oko’mama
pada Komunitas Tutur Uab Meto’.
LITERA: Jurnal Litera Bahasa Dan Sastra, 4(1).
Komentar