Implementasi Community-Based Education (CBE) menuju Pendidikan Berkeadilan
Eduardus Johanes Sahagun’
Urgensi kualitas pendidikan merupakan cerminan kondisi suatu negara dan
kekuatan sosial-politiknya. Bahwasannya, pendidikan merupakan aspek vital bagi
kehidupan manusia. Semua yang dilakukan manusia selama ia hidup merupakan
bagian dari proses dan sekaligus produk pendidikan. Ki Hadjar Dewantoro
menyebutnya sebagai life long education yang
diartikan sebagai proses pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan merupakan modal
yang sangat penting untuk pengembangan kehidupan bermasyarakat dalam menghadapi
tantangan dunia global, teristimewa revolusi indistri 4.0 yang sebentar lagi
terjadi. Di sini, perlu diingat bahwa pendidikan bukan hanya soal masalah
kualitasnya saja, namun juga tentang pemerataan. Inilah yang disebut sebagai
pendidikan yang berkeadilan.
Mencermati wajah pendidikan di Indonesia, kita harus jujur bahwa
persoalan ketimpangan serta pemerataan pendidikan masih jauh dari harapan.
Sebagai contoh, di Indonesia bagian Timur, dapat kita lihat, masih banyak
daerah-daerah pelosok yang belum menerima pendidikan yang layak.
Sarana-prasarana pendidikan pun belum merata.
Masalah pelayanan pemerataan pendidikan
di seluruh wilayah Indonesia kerap kali terhambat oleh banyak faktor, sehingga
sulit untuk mewujudkan pelayanan pendidikan di daerah-daerah tertinggal,
terutama di wilayah Indonesia Timur. Selain sarana dan prasarana yang belum
memadai, kualitas guru dan tenaga pengajar juga masih belum kompeten, ditambah
lagi angka anak putus sekolah dan buta aksara yang masih belum tertangani
secara baik.
Menilik data Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, pada 4 tahun terakhir memang terjadi penurunan angka
anak putus sekolah. Jumlah anak yang putus sekolah di jenjang pendidikan dasar
berkurang dari 60.066 di tahun 2015/2016 menjadi 32.127 pada 2017/2018. Akan
tetapi angka buta huruf di 11 provinsi masih berada di atas angka nasional
yaitu Papua (28,75%), NTB (7,91%), NTT (5,15%), Sulawesi Barat (4,58%),
Kalimantan Barat (4,50%), Sulawesi Selatan (4,49%), Bali (3,57%), Jawa Timur
(3,47%), Kalimantan Utara (2,90%), Sulawesi Tenggara (2,74%), dan Jawa Tengah
(2,20%). Fakta ini perlu disoroti dan harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah,
segenap elemen masyarakat dan kita semua sebagai agen pendidikan untuk terus
menurunkan angka anak putus sekolah dan buta aksara.
Selain
persoalan anak putus sekolah dan buta aksara, pendidikan kita saat ini
dihadapkan pada satu persoalan dasar yang muncul dari Perguruan Tinggi (PT).
Banyak alumni PT yang memiliki nilai bagus dan bergelar namun ketika kembali ke
masyarakat, mereka bingung dan tidak tahu apa yang harus dibuat. Untuk
mengantisipasi tuntutan perkembangan globalisasi, PT harus bisa melayani
berbagai kebutuhan masyarakat secara kompetitif. Nilai kompetitif PT sesungguhnya
terdapat pada kemampuannya melayani kebutuhan yang ada dimasyarakat. Fakta
menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia, khususnya di Perguruan Tinggi
lebih banyak mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Inilah
cikal bakal meningkatnya angka pengangguran di Indonesia.
Data
dari Badan Pusat Statistik menyatakan, jumlah Angkatan Kerja di Indonesia per
Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, atau naik 2,39 juta orang dibanding
Februari 2017. Penambahan jumlah angkatan kerja tersebut berbanding lurus
dengan peningkatan orang-orang yang bekerja pada Februari 2018 sebesar 127,07
juta orang. Akan tetapi, dari 133,94 juta orang total Angkatan Kerja, sebanyak
6,87 juta orang penduduk masih mencari pekerjaan (pengangguran). Angka Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) masih berada di level 5,13%. Bercermin dari data
ini, dapat kita katakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia, sampai sekarang masih
berorientasi pada menghasilkan lulusan walaupun tingkat kemandirian dan
semangat kewirausahaannya sangat rendah. Presentasi lulusan PT yang bisa
menghasilkan lapangan pekerjaan sendiri masih redah.
Beragam
masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia yang sudah dipaparkan di atas,
bukanlah hal buruk yang tidak harus kita terima. Namun justru dengan fakta
tersebut kita bisa membuka mata dan mencari solusi bersama guna mengatasi problematika
yang terjadi. Inilah yang kemudian menjadi fokus utama para petinggi negara-negara anggota PBB mengangkat
rangkaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menyertakan 17 Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable
Development Goals (SDGs). Salah satu tujuan SDGs adalah menjamin pendidikan
yang inklusif dan setara secara kualitas serta mendukung kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua.
Pembahasan
Bercermin dari persoalan pendidikan yang telah dipaparkan, maka
pertanyaan dasarnya adalah bagaimana mengatasinya? Bagaimana caranya agar
pendidikan itu adil, merata, dan berkualitas? Apa solusi yang harus dilakukan
agar output dari dunia pendidikan
bisa menjawab kebutuhan masyarakat? Sebagai respon terhadap kompleksitas
permasalahan pendidikan, Saya memberikan solusi dengan mengimplementasikan
konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community-Based
Education) dalam penyelenggaraan pendidikan nasional guna menjawab pelbagai
kebutuhan masyarakat secara tepat sehingga bisa menghadapi perubahan tututan
zaman.
Lantas, apa itu community-based
education? Ada banyak pendapat para ahli dalam memberikan definisi tentang pendidikan
berbasis masyarakat. Namun dalam tulisan ini, saya hanya mengambil konsep yang
dikemukakan oleh Umberto Sihombing (2001). Ia mengatakan pendidikan berbasis
masyarakat merupakan pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai,
dikembangkan dan dievaluasi oleh masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab
tantangan dan peluang yang ada di lingkungan masyarakat. Dengan kata lain,
pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep pendidikan ‘dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat’. Dengan ini Sihombing menegaskan bahwa yang
menjadi acuan dalam memahami pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan
luar sekolah, karena pendidikan luar sekolah bertumpu pada masyarakat, bukan
pada pemerintah. Contoh kongkritnya adalah Pendidikan Kesetaraan atau yang
lebih dikenal sebagai Pusat Kegiatan Belajar-Mengajar (PKBM) yang tumbuh subur
di masyarakat.
Walau demikian, pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya tidak hanya
dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan luar sekolah (nonformal). UU No. 20
Tahun 2003 pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa ‘jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya’. Oleh karena itu,
pendidikan berbasis masyarakat dapat juga mengambil jalur formal, nonformal dan
informal. Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses formal biasanya
merupakan pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi birokrasi formal
semisal sekolah atau universitas. Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses
nonformal dapat mengambil bentuk pendidikan di luar kerangka sistem formal yang
menyediakan jenis pelajaran terpilih, seperti di perpustakaan atau museum dan
berbagai lembaga kerajinan tangan. Adapun pendidikan berbasis masyarakat dengan
proses informal merupakan pendidikan yang diperoleh individu melalui
interaksinya dengan orang lain di tempat kerja, dengan keluraga, di lingkungan
tempat tinggal atau dengan teman.
Pendidikan berbasis masyarakat sejatinya didasarkan pada konsep pedagogik
kritis (grounded in critical theory and
pedagogy). Di dalam pedagogik kritis, pendidikan merupakan arena perjuangan
politik. Jika dalam paradigma pendidikan konservatif, pendidikan bertujuan
untuk menjaga status quo, sementara
bagi paradigma pendidikan liberal untuk perubahan kaum moderat, maka dalam
pedagogik kritis, pendidikan diarahkan demi terjadinya perubahan struktur
secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan itu
berada. Dalam perspektif pedagogik kritis, pendidikan tidak mungkin dan tidak
bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat. Visi
pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakkan
terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru
yang lebih adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’
manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil (Freire,
2000). Di sinilah letak perlunya penerapan konsep pendidikan berbasis
masyarakat, agar pendidikan senantiasa bebas dari dominasi dan hegemoni
kekuasaan.
Selain itu, dalam pendidikan berbasis masyarakat perlu dikembangkan
pendidikan kearifan lokal. Pendidikan kearifan lokal bertujuan memberikan bekal
pengetahuan, ketrampilan dan perilaku kepada naradidik agar mereka memiliki
wawasan yang luas tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai
dengan nilai-nilai atau aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung
pembangunan daerah serta pembangunan nasional. (Primadata & Kusumawati 2014).
Konklusi dan Saran
Dari beberapa uraian di atas kiranya
dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan
yang sebagian besar keputusan kependidikannya ditentukan oleh masyarakat, mulai
dari masalah input, proses dan output pendidikan, hingga masalah pendanaan.
Sebuah model yang dapat dijadikan contoh bagi pendidikan berbasis masyarakat
antara lain Lembaga Kursus dan Pelatihan seperti Lembaga Kursus Komputer,
Kursus Bahasa Asing, Kursus Seni Musik dan Tari, Kerajinan Tangan dan
sebagainya. Selain itu, ada juga Kelompok Belajar dan Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat serta Satuan Pendidikan sejenis yang merupakan pendidikan nonformal
yang dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap, dimana cakupannya luas dan memerlukan landasan hukum, seperti Pra Sekolah
(kelompok bermain, penitipan anak), Balai Latihan dan Penyuluhan, Kepramukaan,
Padepokan Pencak Silat, Sanggar Kesenian dan lain-lain.
Sayangnya, semua jenis lembaga sekolah nonformal ini masih belum
mendapat perhatian serius dari Pemerintah, sehingga acap kali terbengkalai dan
akhirnya bubar. Inilah yang perlu menjadi perhatian serius Pemerintah agar
tujuan dari Sustainable Development Goals
(SDGs) di bidang pendidikan dapat tercapai. Di sini peran Pemerintah daerah
sangat urgen, karena Pemda-lah yang sangat paham akan kondisi real
masyarakatnya. Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah harus bisa
berkolaborasi membangun pendidikan yang tepat sasar demi menjawab kebutuhan
masyarakat. Melalui Dana Desa yang ada saat ini, saya mengusulkan agar
penggunaannya bisa dialokasikan untuk membangun gedung Sekolah yang masih
kurang layak di daerah terpencil. Disamping itu, Dana Desa juga bisa
dialokasikan ke beberapa lembaga pendidikan non formal yang ada di desa,
seperti taman baca, rumah pintar dan sebagainya, agar buta aksara dan angka
anak putus sekolah bisa tertasi. Selain itu, pemerintah perlu mendukung
rancangan ‘kurikulum pendidikan berbasis masyarakat’ untuk bisa dipakai oleh
berbagai lembaga pendidikan non formal, yang mana bentuk dan kebijakannya
diambil serta diatur dari dan oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian, kebutuhan
masyarakat terjawabi dan lulusan PT pun bisa berkreasi dan berinovasi
mengebangkan ilmu yang sudah diperoleh guna memenuhi apa yang dibutuhkan banyak
orang.
Mencermati kompleksitas problematika yang dihadapi dunia saat ini, bahkan
mengarah pada kondisi chaos
(kacau/rusak), maka kita memerlukan perubahan paradigma pembangunan ke arah
berkelanjutan (more sustainable
development). Pendidikan berparadigma pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development
atau EFSD) sebagai ruh pengembangan pendidikan berbasis masyarakat dapat
diimplementasikan pada kurikulum pendidikan umum mulai dari tingkat Sekolah
Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Bahkan lebih dari itu, EFSD juga dapat
diterapkan dalam keluarga maupun masyarakat dengan cara melakukan pembiasaan
kepada anak-anak untuk melakukan kegiatan yang mengarah pada aspek pembangunan
keberlanjutan, seperti menjaga kebersihan, menjalin hubungan baik antar sesama,
menanam pohon, membiasakan jujur, membuang sampah pada tempatnya, menjaga
kelestarikan lingkungan dan lain sebagainya. Inilah esensi dari implementasi
pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan manifestasi dari pemahaman bahwa
pendidikan merupakan sarana investasi jangka panjang untuk terciptanya kehidupan
yang lebih baik.
Penulis adalah Alumnus Magister Sains Psikologi
Peminatan Psikologi Sosial
Fakultas Psikologi - Universitas Gadjah Mada
Pustaka
Badan Pusat
StatistiK (2018). Data Angka Pengangguran Lulusan PT di Indonesia
https://www.bps.go.id/ diakses pada Jumat, 22 Februari, pukul 02:47
WIB).
Cunningham, P.M.
(1994). Community Education and Community
Development dalam The International
Encyclopedia of Education, editor kepala Torsten Husen dan T. Neville
Postlethwaite, Vol. II. Oxford: Pergamon
Freire, Paulo.
(2000). Politik Pendidikan: Kebudayaan,
Kekuasaan dan Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad Arif
Fudiyartanto. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemendikbud.co.id (2018).
Data Buta Aksara dan Angka Putus Sekolah
di Indonesia https://www.kemdikbud.go.id/ (diakses pada Rabu, 20 Februari 2019, Pukul
17:46 WIB).
Sihombing, Umberto,
(2001). Konsep dan Pengembangan
Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Eds.),
Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet. I; Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa. 2001.
Sustainable Development Goals – SDGs (2015). Tujuan Yang Perlu Diketahui Oleh Pemerintah Daerah https://www.uclg.org/sites/default/files/tujuan-sdgs.pdf
(diakses pada Kamis, 21 Februari
2019, pukul 23:34 WIB).
Syaiful Islam,
(2017). Karakteristik Pendidikan
Karakter; Menjawab Tantangan Multidimensional Melalui Implementasi Kurikulum
2013. Jurnal Edureligia, Vol. 01 No. 01 hal 17-23
Toto, Suharto.
(2005). Konsep Dasar Pendidikan Berbasis
Masyarakat. Jurnal Cakrawala Pendidikan, November Th. XXIV, No. 3 hal. 1-9
Undang-Undang No.20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional https://id.wikisource.org/wiki/UndangUndang_Republik_Indonesia_Nomor_20_Tahun_2003 (diakses pada Sabtu, 16 Februari 2019, Pukul
15:32 WIB).
Primadata, P.
Ankarlina & Kusumawati, D. Kasi. (2014). Modernisasi Pendidikan di Indonesia Sebuah Perspektif Sosiologis
Terhadap Dunia Pendidikan di Indonesia. Jurnal Analisa Sosiologi April,
3(1): 25-51.
Komentar