Ketika Peluh ‘Buruh’ Berluruh


Menjadi pemberitaan menarik dan urgen di berbagai media, manakala berbicara mengenai buruh dengan segala kompleksitas permasalahan. Salah satu problem yang melingkupi kaum buruh sejak dahulu adalah menyangkut ‘kesejahteraan’ dengan tolak ukur utama yakni jumlah upah. Kondisi semakin diperparah dengan ‘ketidak-berpihakan’ Pemerintah pada kaum buruh. Pemerintah yang diharapkan menjadi ‘dewa penyelamat’ justru hanya menyampaikan isi retorika kosong tanpa solusi, bahkan terkadang menjadi ‘minder’ pada pengusaha (pemilik modal). Akibatnya, buruh dijadikan komoditas politik untuk kepentingan tertentu. Sedih memang, tapi itulah fakta yang tak bisa ditampik.
Ironisnya, di satu sisi buruh selalu dimarginalkan, tetapi disisi lain buruhlah yang memiliki kontribusi untuk menopang perekonomian negara ini. Peran buruh bagi sebuah negara, selain sebagai penggerak ekonomi, tapi juga sebagai pelaku utama pembangun peradaban manusia. Karena jumlahnya yang besar, maka gerakan buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan potret hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Buruh lah yang menggerakkan sektor ekonomi ‘bawah tanah’ yang notabene memiliki kontribusi besar dalam perekonomian kita, dan menjadi penyeimbang bahkan penyelemat neraca pertumbuhan ekonomi negara sehingga menampakkan hasil yang membanggakan.

Benarlah bahwa isu perburuhan sampai saat ini selalu menjadi salah satu isu sexi yang sering kali dijadikan alat tawar-menawar politik maupun obyek pencitraan. Buruh menjadi komoditas jualan parpol, yang di satu sisi penopang dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional, tetapi di sisi lain dipandang sebelah mata, dianggap pekerja rendahan, dan itu terlihat dari kehidupan kaum buruh yang tak kunjung membaik. Desakan dari serikat pekerja maupun perundingan antara pengusaha, pemerintah dan buruh hampir selalu berujung pada kegagalan. Outsourcing, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), besaran Upah Minimum Regional (UMR), upah yang tak kunjung dibayar, hingga kemiskinan yang menghiasi hidup kaum buruh menjadi permasalahan akut yang sulit menemui jalan keluar. Belum lagi, di masa pandemi karena Covid-19 ini, kehidupan para buruh menjadi tidak tentu dan sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Kemenaker, sudah lebih dari 2 juta pekerja di-PHK atau bahasa melankolisnya ‘dirumahkan’ (Kompas.com, 23/04/2020).
Kelihatan bahwa kontribusi buruh yang demikian besar ternyata kurang mendapatkan apresiasi dari pemangku kebijakan (Pemerintah). Hampir setiap tahun, permasalahan buruh selalu ada, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, yang sedikit banyak belum memihak pada kaum buruh. Tidak bisa dipungkiri memang, diantara banyak permasalahan seputar buruh, permasalahan mengenai kesejahteraan merupakan masalah sensitif yang selalu dibicarakan karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dari tahun ke tahun permasalahan klasik yang muncul adalah keinginan buruh untuk menaikkan upah mereka sesuai apa yang mereka kerjakan. Hal ini dikarenakan upah yang mereka terima tidak sebanding/mencukupi untuk memenuhi kebutuhan riil.
Masalah klasik lain adalah posisi buruh yang serba sulit dalam hubungan antara buruh dan pengusaha. Antara buruh dan pengusaha selalu memiliki perbedaan kepentingan yang sangat mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapatkan upah, sebagai balas jasa atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya menjadi prioritas.
Nampak jelas bahwa dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dan pemilik modal. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka berada di tangan pemilik modal. Karena itu, mereka membutuhkan peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan (legalitas) untuk ‘menekan’ pengusaha yang dalam posisi ini dipegang oleh pemerintah. Kenyataannya, pemerintah pun kemudian belum bisa berbuat apa-apa, bahkan cenderung di-‘stir’ pengusaha sehingga buruh harus berusaha memperjuangkan nasibnya sendiri.
Permasalahan pelik peningkatan kesejahteraan buruh kiranya tidak akan dapat dipecahkan oleh buruh sendiri atau negara bahkan pengusaha/korporasi. Masing-masing pihak tentu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Buruh tentu saja ingin meningkatkan taraf kehidupannya, negara ingin berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan dan membuka banyak lapangan kerja, dan korporasi selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ketiga pihak inilah kemudian dituntut untuk duduk bersama dan berdialog satu sama lain untuk memberikan pemecahan dalam kaitannya dengan kesejahteraan buruh.
Karena itu, pada kesempatan  ini, saya coba memberi usulan solusi yang dikaji dari perpektif Marx, bahwa selama ini buruh terjebak dalam kesadaran palsu (false consciousness), di mana buruh merasa diperlakukan ‘baik’ oleh pemilik modal. Karena itu, mau tidak mau, buruh harus merubah false consciousness itu menjadi kesadaran kelas. Untuk menerapkan kesadaran kelas, salah satu hal yang sedikit ekstrim adalah buruh bisa melakukan gerakan perlawanan dengan berserikat. Serikat buruh merupakan salah satu jalan untuk bernegosiasi dengan pemilik modal. Diharapkan gerakan serikat buruh tidak terbatas pada negosiasi lunak dengan negara maupun pengusaha, tetapi perundingan itu bisa membawa angina segar pada buruh untuk kelangsungan hidup yang lebih baik.
Usulan lain yang bisa dijadikan pertimbangan itu datang dari pemilik modal sendiri. Besar harapan agar pengusaha bisa merubah cara pandang mereka terhadap buruh. Para buruh haruslah dilihat bukan bukan sebagai komoditas, dan faktor produksi, tetapi merupakan stakeholder. Dengan begitu, ketika ada persoalan untuk mengurangi beban produksi, maka kesejahteraan buruh atau pemutusan hubungan kerja, bisa diminimalisir atau diatur secara efisiensi.
Usulan Solusi berikutnya adalah perhatian dari Negara kepada peluh kaum buruh harus lebih diprioritasikan. Semisal, kebijakan mengenai upah minimum regional (UMR) perlu disempurnakan. UMR harusnya berkaca pada tingkat kebutuhan riil tenaga kerja dan disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai pihak ketiga, Negara harus menjadi penghubung dan mediator antara kepentingan buruh dan pengusaha seadil mungkin. Tidak boleh berat sebelah. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seharusnya memenuhi sisi keadilan, sehingga negara tidak lagi menjadi ‘boneka’ pengusaha, tetapi mampu menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjamin hak-hak masyarakat, khususnya kaum buruh.
Selamat Hari Buruh. Semoga peluh para buruh mendapat apresiasi dari kita semua.

Sumber Pemikiran:
Hartono, A. (1994). Gugatan kaum buruh terhadap ketimpangan dalam industri. Economic Journal of Emerging Markets3, 52-58.
Hendrastomo, G. (2010). Menakar kesejahteraan buruh: memperjuangkan kesejahteraan buruh diantara kepentingan negara dan korporasi. Jurnal Informasi16(2), 1-16.
Purwaningsih, R. (2008). Konflik antar serikat buruh. Jurnal Bisnis dan Ekonomi15(2), 24252.

Komentar

Postingan Populer