Menangkal Wishful Thinking dan Technopilia



Wardy Js' Kedy'

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah membawa perubahan yang signifikan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas kehidupan manusia. Terkait kualitas kehidupan, terdapat tiga hal urgen yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi saat ini, yakni ekonomi, politik dan relasi sosial. Tulisan ini ingin mengungkap persoalan wishful thinking dan technopilia yang sedang berkembang dan mempengaruhi perubahan khazanah perpolitikan di Indonesia, dengan melihat dinamika pemanfaatan teknologi komunkasi yang berkembang pesat saat ini, yakni internet dan media sosial.
Dinamika Persoalan
Khazanah tahun politik semakin kental ketika memasuki awal tahun 2019, di mana akan diadakan Pileg dan Pilpres lima tahunan. Tak salah pula kalau tahun ini disebut sebagai tahun ujian bagi demokrasi sekaligus ujian peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah konsolidasi kehidupan politik yang ‘masih mencari’ bentuk. Pasalnya, pada tahun ini peradaban bangsa diuji dengan berbagai ujaran kebencian (hate speech) yang kian meningkat, baik melalui ujaran langsung maupun melalui media sosial. Saat ini media sosial merupakan media komunikasi yang efektif, tranparan dan efisien serta memiliki peran penting sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Peran media sosial saat ini selain untuk mentransfer informasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah kepada masyarakatnya, namun juga sebaliknya masyarakat dapat menyampaikan informasi langsung kepada pemerintah tentang berbagai hal terkait pelayanan yang diterima.
Penggunaan media online dan media sosial akan lebih efektif dan bermanfaat bila dijadikan sebagai wadah dalam memberikan aspirasi, kritik maupun saran dalam pembangunan. Di lain sisi, perlu adanya dorongan kepada semua lapisan masyarakat agar memiliki etika bagaimana memanfaatkan media sosial. Banyak sekali pengguna media sosial yang memanfaatkan media ini untuk hal-hal yang sifatnya negatif dan dapat merugikan semua pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Permasalah yang timbul dari penggunaan media sosial saat ini adalah berjamurnya informasi hoax yang menyebar luas, bahkan orang terpelajar pun tidak bisa bedakan mana berita yang benar, advertorial dan mana yang tidak benar.
Penyebaran informasi tanpa dikoreksi maupun dikritisi, pada akhirnya memecah-belah publik. Bahkan kalau mau dikata, pola pikir masyarakat kita saat ini sudah terkontaminasi dengan dua ‘pikiran sesat’ yakni wishful thinking dan berpikir technopil. Secara psikologis, wishful thinking adalah pola pikir yang menegaskan sesuatu sebagai benar karena hasrat atau keinginan (wish) bahwa sesuatu itu benar. Wishful thinking merupakan bagian dari perwujudan keinginan pribadi dengan menafikan argumen rasional. Dengan kata lain, dasar kebenaran adalah keyakinan sendiri, bukan sesuatu yang objektif dan rasional. Selain itu, pola pikir buruk lain dalam generasi digital saat ini adalah mendewakan teknologi. Dewasa ini ada tendensi bahwa manusia menyerahkan segala sesuatu pada teknologi. Akibatnya muncul sikap ketergantungan mutlak atasnya. Sikap ini disebut dengan istilah technophilia. Kata technophilia berasal dari kata bahasa Yunani, yakni kata techne, yang artinya adalah alat, dan philia yang artinya adalah cinta. Secara sederhana arti kata technophilia adalah kecintaan atau keterikatan yang kuat pada teknologi. Orang yang antusias terhadap teknologi baru dan berpikir bahwa teknologi adalah segala-galanya disebut technophile. Dalam dinamika psikologis, kaum technophile tidak pernah ketinggalan meng-update informasi tentang teknologi baru. Bahkan mereka mengadopsi teknologi sepenuhnya dalam kehidupan mereka. Karena itu, salah satu ciri kaum technophile adalah sulit lepas dari gadget yang dimiliki.
Fakta Psikologis Adiksi Internet
Saat ini teknologi komunikasi seperti handphone dan internet sudah merebak ke mana-mana, dan kehadirannya sangat diperlukan serta kepemilikannya menyentuh semua lapisan sosial. Dari tingkat kebutuhan, teknologi komunikasi tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan sekunder, apalagi tersier, tetapi ditempatkan sebagai kebutuhan primer. Internet dan media sosial dianggap sebagai aktivitas yang paling penting. Secara psikologis fenomena ini dinamakan salience. Salience terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas paling urgen dalam kehidupan seseorang, bahkan sampai mendominasi pikirannya (proekupasi kognitif). Banyak orang merasa resah jika dalam satu jam, apalagi dalam satu hari tidak memegang handphone atau menggunakan internet khususnya media sosial. Penelitian yang dilakukan Young (2010) menunjukkan beberapa kriteria seorang dikatakan kecanduan internet antara lain, merasa asyik dengan internet, sulit mengontrol atau mengurangi waktu menggunakan internet, merasa gelisah, murung bahkan bisa mengalami depresi ketika waktu penggunaan internet dikurangi (withdrawal symptoms) dan mengalami euphoria yang berlebihan.
Pentingnya Literasi Media
Bercermin dari problematika yang sudah dipaparkan di atas, masyarakat diharapkan lebih bijak dan kritis dalam memanfaatkan media sosial, misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya. Inilah yang menjadi tujuan utama dari literasi media. Dalam arti yang sederhana, literasi media merupakan kemampuan individu memahami, menganalisis, mengevaluasi dan mengkonstruksi kembali segala informasi yang ada di media. Berkembangnya literasi media ini disebabkan karena informasi yang ada di berbagai media (media cetak, media elektronik atau media online), sering dianggap sebagai sumber kebenaran yang kredibel oleh masyarakat. Padahal jika ditilik lebih jauh, banyak pemberitaan di media saat ini sarat akan kepentingan. Alhasil, isi informasi di media kadang bermuatan kepentingan dari segelintir elit tertentu.
Selanjutnya, berhadapan dengan berbagai pola pikir ‘sesat’ tadi, generasi sekarang perlu disadarkan bahwa teknologi komunikasi seperti handphone dan internet bukan obat mujarab dalam mengatasi penyakit-penyakit dunia yang dihadapinya, karena instrumen ini bersifat ambivalen. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di masa depan, komputer dan mereka akan makin sering berbagi tugas menurut kelebihan masing-masing. Namun agar pemanfaatannya bisa maksimal dan mampu membawa dunia ke arah positif, diperlukan pikiran yang jernih dan selektif. Singkatnya agar utilitas teknologi selaras dengan nilai-nilai manusia, maka diperlukan kecerdasan dan ketajaman berpikir dalam membedakan mana yang bernilai instrinsik dan mana yang bernilai instrumental.
 Dalam kaitan dengan itu, literasi media sangat urgen dibangkitkan terus menerus, terutama di kalangan generasi muda. Literasi media akan berfungsi maksimal, jika keberanian dan integritas intelektual diasah dan dijadikan sebagai dasar dalam memberikan penilaian terhadap berbagai kenyataan yang dihasilkan oleh teknologi komunikasi. Karena itulah, pendidikan literasi media harus ditempatkan sebagai bagian integral dalam proses pembelajaran mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah dan atas hingga perguruan tinggi demi terciptanya generasi yang unggul, bijak dan kritis. Literasi media penting dikembangkan untuk mengatasi sifat pragmatis dan aksidental dari perilaku yang ‘dikomando’ oleh dewa teknologi. Literasi media merupakan tameng dalam menangkal wishful thinking dan technopilia. Karena itu, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah memberi pembekalan kepada masyarakat mengenai pengetahuan akan internet sehat, sehingga penerima berita dapat mengakses, menganalisis dan mengenali mana berita atau informasi hoax dan mana yang benar.
Alumnus Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada


Komentar

Postingan Populer