Philo-SOPIA (Sophia) : Mencermati Rencana Pemerintah Memproduksi Miras Asli NTT
Wardy Kedy'
Ketika
mendengar kata ‘Philosophia’ sudah barang tentu pikiran kita akan tertuju pada makna akar kata ‘filsafat’ yang secara sederhana
diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan. Akan tetapi, kali ini saya tidak
membahas apa itu filsafat dengan pelbagai objek material dan formal, namun saya
hanya ingin mencermati rencana Pemerintah NTT memproduksi minuman keras (miras)
bermerek ‘SOPIA/SOPHIA’. Mungkin judul di atas sedikit mirip dengan maksud dari
akar kata filsafat itu sendiri. Namun sebenarnya, yang mau diungkap dalam
tulisan ini adalah menyangkut kesiapan masyarakat dalam menghadapi rencana
Pemerintah memproduksi ‘sopia/sophia’ sebuah
produk minuman keras asli NTT. Pertanyaan dasarnya adalah seberapa dalam masyarakat
NTT memahami miras sebagai warisan budaya lokal? Bagaimana kesiapan dan peran masyarakat
dalam mendukung Pemerintah memproduksi sopia/sophia?
Minuman
Keras (Miras): Warisan Budaya Lokal
Ketika berbicara tentang
minuman keras (miras), bagi masyarakat NTT bukan merupakan hal yang tabuh, bahkan
miras dipandang sebagai bagian penting dalam suatu acara, khususnya acara adat.
Fenomena ini bukan tanpa dasar, karena jika ditilik lebih jauh, ternyata miras
merupakan suatu produk budaya yang berkembang dari pengetahuan yang dimiliki
oleh leluhur kita di masa lampau, yang menggunakan alat-alat tradisional untuk
memproduksi ‘setetes’ minuman yang mengekspresikan nilai-nilai suatu budaya.
Karena miras merupakan salah satu produk budaya, maka Pemerintah dalam
ketentuan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memasukan miras ke
dalam kategori objek kemajuan pengetahuan tradisional yang patut dilestarikan.
Betapa tidak, coba kita berpikir lebih jauh, dari mana datangnya semua
kemampuan pengetahuan leluhur kita dalam memproduksi miras pada masa itu?
Generasi milenial tentu akan berpikir dua kali jika ditanya demikian. Karena
memang tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti siapa leluhur yang pertama
kali menemukan cara menyadap pohon lontar atau enau sampai menjadi setetes
minuman beralkohol dan diwariskan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya,
miras kemudian dijadikan sebagai bahan konsumsi yang penting dalam suatu ritual
adat. Miras mendapat perlakuan khusus dalam ritual adat dan sudah mendapat
pengakuan baik dari regulasi Pemerintah maupun dalam norma adat. Dengan
demikian, bisa saya katakan bahwa miras merupakan tanda atau ekspresi budaya tradisional
yang cukup penting dalam keseharian hidup masyarakat NTT.
Minuman
Keras (Miras) Bukan Produk Ilegal
Sebagai salah satu produk
budaya, bagi saya, minuman keras (miras) dengan berbagai jenis dan nama
(seperti moke, sopi, tuak, arak, dll) yang ada di NTT merupakan warisan budaya
yang sah. Mengapa demikian, karena ide dan gagasan untuk menghasilkan miras
benar-benar berasal dari leluhur kita yang digali dari nilai-nilai dan norma
masyarakat setempat. Oleh sebab itu, miras tidak boleh dipandang sebelah mata,
karena kita juga berasal atau menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya.
Miras dalam suatu ritual adat bukan merupakan pelengkap, melainkan kebutuhan
penting karena miras itu sendiri memiliki nilai sakral dalam suatu ritual adat.
Dengan demikian, miras bukanlah suatu produk ilegal bagi masyarakat NTT.
Terminologi ilegal yang dilekatkan pada miras sebenarnya kurang tepat jika
miras dipahami sebagai salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan. Karena
itu, ketika ada wacana yang mengatakan bahwa Pemerintah NTT akan melegalkan
miras, maka sebenarnya kita bisa balik bertanya, apakah miras yang sudah ada
sejak dahulu kala dan menjadi warisan budaya lokal merupakan produk ilegal?
Adakah dasar argumen yang cukup rasional untuk mengatakan bahwa miras adalah
produk ilegal yang tidak boleh dilestarikan apalagi dikembangkan, diproduksi,
diperdagangkan?
Rasanya terlalu miris kalau kita
hanya melihat akibat atau efek dari mengkonsumsi miras yang berlebihan sampai
memabukkan, lalu dengan cepat menyimpulkan kalau miras itu ilegal. Memang benar
bahwa mengkonsumsi minuman beralkohol yang berlebihan sangat besar pengaruhnya
terhadap sikap dan perilaku yang mengarah kepada deviasi. Namun hal ini tidak
serta-merta dijadikan alasan untuk mengiilegalkan miras. Kita terlalu ‘sibuk’
dengan term ‘penyalahgunaan’ miras sehingga munculah peraturan dalam kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) yang mengatur masalah penyalahgunaan minuman
keras dan minuman beralkohol yang tersebar dalam beberapa pasal, antara lain
pasal 300; pasal 492; pasal 536 sampai spasal 539 KUHP. Hal ini juga diperkuat
juga dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015
yang mengubah sejumlah pasal di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
20/M-Dag/PER/4/2014. Salah satu perubahan tersebut mengatur bahwa minuman
beralkohol tidak dapat lagi dijual di mini market. Pernyataan ini terbentuk dengan
semangat untuk melindungi moral dan budaya masyarakat serta meningkatkan efektivitas
pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman
beralkohol. Akibat terlalu berkutak pada efek miras yang dinilai seolah
‘negatif’ dan selalu menggunakan term ‘penyalahgunaan’ minuman beralkohol, maka
kita akhirnya lupa akan pentingnya menggunakan term ‘pembenar-gunaan’ miras dalam praktek upacara adat yang merupakan
bagian integral dari pribadi seseorang dan warisan penting leluhur. Sekali
lagi, yang ingin saya katakan adalah bahwa miras bukan produk ilegal. Miras adalah
produk budaya dan warisan lokal yang patut dilestarikan. Jangan hanya melihat
akibat atau penyelahgunaan miras, tapi kita juga perlu melihat dan memberi
perhatian serius terhadap pembenar-gunaan
miras dalam praktek dan tradisi budaya tertentu sebagai upaya pelestarian
budaya lokal.
Produksi Miras Lokal NTT: Sebuah Peluang dan
Tantangan
Rencana Pemerintah memproduksi
miras asli NTT bermerek sopia/sophia merupakan
langkah strategis yang baik demi pengembangan dan peningkatan ekonomi
masyarakat setempat, Bagi saya, produksi sopia/sophia
merupakan peluang investasi yang baik sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat NTT pada umumnya. Hal ini sejalan dengan tujuan utama
diproduksikannya miras lokal menurut Gubernur NTT yakni untuk mengembangkan
industri pengolahan dan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Harapan terbesar dari
adanya produk ini adalah menurunnya angka kemiskinan dan meningkatknya ekonomi
masyarakat lokal, khususnya petani lokal yang memiliki pohon lontar atau pohon
enau. Mengingat, terdapat cukup banyak masyarakat lokal yang berprofesi sebagai
penyadap nira pohon lontar dan menjadikan produk tersebut sebagai sumber utama
penghasilan atau mata pencaharian.
Namun, menilik fakta yang
ada, para petani atau penyadap nira lontar ini tidak terberdayakan sepenuhnya
sehingga hidup mereka lamban berkembang. Atas dasar persoalan itulah maka yang
menjadi tantangan sekarang adalah bagaimana Pemerintah mengatur dan mengorganisir
berbagai usaha kecil menengah miras yang ada di berbagai daerah, sehingga bisa
tergabung dalam satu wadah yang nantinya akan menjadi ‘perusahaan lokal’ dengan
produk miras unggulan yang tak kalah saing dengan produk miras lain. Bagi saya,
kerja sama Pemerintah dengan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang, dalam
melakukan pengkajian dan penelitian terkait minuman yang akan diluncurkan
tersebut sudah menjadi langkah awal yang baik. Karena itu, Pemerintah harus
bisa membuat langkah strategis dan kebijakan yang tepat sasar agar produk yang
dihasilkan benar-benar berkualitas. Tidak perlu terburu-buru dalam memproduksi
miras. Perlu dilakukan pengkajian dan pengujian secara berkelanjutan agar sopia/sophia bisa diterima dan bersaing
di pasar global serta menjadi produk unggulan yang dapat dibanggakan masyarakat
NTT.
Philo-SOPIA/Sophia:
Cinta akan ‘SOPIA’ (Produk Lokal)
Terlepas dari berbagai
pro-kontra yang berkembang di masyarakat, di akhir tulisan ini saya hanya ingin
memberikan catatan singkat pada kita semua bahwa rencana Pemerintah memproduksi
minuman keras asli NTT bermerek sopia/sophia
patut
diapresiasi. Bahwasannya, dibalik rencana itu ada harapan dan tujuan baik, yakni
kesejahteraan seluruh masyarakat NTT. Kita harus bisa melihat dengan bijak
bahwa rencana ini bukan berarti membiarkan peredaran miras lokal secara tidak
terkontrol, tetap lebih kepada mengelola miras sesuai dengan standar yang
ditetapkan sehingga hasilnya bisa bersaing di pasar domestik maupun pasar luar
negeri. Semua itu hanya untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Dengan
mendukung rencana Pemerintah ini sebenarnya kita sudah menunjukkan sikap yang
bijak dalam mencintai produk lokal. Kita harus ‘mencintai sopia/sophia’ (philo-SOPHIA) sebagai produk budaya yang
patut dilestarikan. Kita harus berbangga karena salah satu warisan leluhur
masyarakat NTT sudah diperhatikan dan akan dikelola secara baik oleh
Pemerintah. Kiranya produk miras lokal ini bisa membuat kita menjadi semakin
mencintai kekayaan budaya yang kita miliki.
Alumnus Magister Psikologi UGM
Komentar