Fisiognomi pada FaceApp
Belakangan ini banyak orang lagi ‘demam’
menggunakan aplikasi Face-App. Di
berbagai media sosial (Instagram, Fb) banyak yang menggaungkan edit foto wajah
mereka masing-masing. Sebenarnya aplikasi ini sudah sempat popular dua tahun
yang lalu. Kini aplikasi edit wajah itu kebali naik daun karena viral dibuat
oleh para netizen untuk mengikuti age
challenge yang lagi hits atau sekadar
untuk seru-seruan saja. Wajah mereka diubah, menjadi lebih tua, atau lebih muda,
atau menjadi anak kecil, bahkan sampai merubah bentuk muka menjadi laki-laki
dan perempuan. Unik memang, ketika melihat unggahan foto dari seorang yang
wajahnya berubah. Bagi saya, ini hanya sebuah aplikasi yang dipakai untuk
bersenang-senang, sekalipun tentu ada bahaya yang bisa terjadi ketika
menggunakannya.
Berangkat dari itu, perubahan wajah dari
seorang yang mengunggah fotonya sendiri, bisa juga dikaji dari sudut pandang
teoritis keilmuan. Semua orang pasti akan tahu bahwa wajah dapat menjadi
cerminan kepribadian seseorang. Kepribadian merupakan bagian yang penting dalam
menciptakan pergaulan atau berelasi dengan orang lain. Kepribadian adalah cara
berinterkasi yang khas oleh individu terhadap perangsang sosial, dan kualitas
diri yang dilakukan terhadap segi sosial lingkungannya. Saat
berinteraksi dengan orang lain kita tentu akan bertatap muka/wajah, sekalipun
secara virtual, karena wajah adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam berkomunikasi.
Dengan melihat dan mengenali wajah, kita bisa memahami kepribadian lawan
bicara, dan tentu bisa mempengaruhi tanpa harus menyinggung perasaan lawan
bicara tersebut. Sebab itu, wajah dianggap sebagai cerminan kepribadian seseorang,
karena wajah merupakan anggota tubuh manusia yang paling tampak kelihatan dan
bisa menunjukkan suasana dan perasaan hati. Wajah tidak tertutup oleh apapun,
sehingga kita tidak perlu meminta izin pada seseorang ketika kita ingin mencari
tahu kepribadian atau karakternya.
Karena wajah bisa mencerminkan perilaku
dan watak dari yang memilikinya, maka banyak peneliti
kemudian mempelajari hubungan antara wajah dan kepribadian, sehingga muncul teori
yang disebut dengan fisiognomi
(keahlian
membaca wajah atau face reading).
Dalam
buku ‘Membaca Kejujuran dan Kebohongan dari Raut Wajah’ (2014) yang ditulis
oleh Budi Susilo, dijelaskan bahwa Fisiognomi
berasal dari kata Phisis yang berarti
alam dan Gnomon yang berarti
penilaian. Fisiognomi adalah seni atau ilmu yang digunakan untuk mengenal
karakter seseorang dengan melihat wajah atau dikenal dengan face reading. Beberapa konsep analisis
raut wajah dalam fisiognimi antara lain: anatomi struktur tengkorank, bentuk
rambut, bentuk dahi, bentuk tulang pipi, bentuk tulang rahang, bentuk telinga, bentuk
dan letak alis mata, bentuk hidung dan mulut (bibir), letak dan bentuk dagu,
serta ciri atau tanda khusus pada wajah seperti tahi lalat, bekas luka, atau
tanda lahiriah lainnya.
Pada dasarnya,
wajah dapat memberikan
banyak informasi mengenai seseorang seperti suasana hati, kesehatan, temperamen
(watak atau sifat), serta status sosial dan ekonomi. Setiap perubahan wajah
yang terunggah di medsos, dan dilihat oleh orang lain, tentu menghasilkan
berbagai perspektif dan penilaian. Kita mungkin tidak sadar kalau foto/gambar
yang kita unggah akan mengkonstruksi pola pikir dan penilaian orang lain
terhadap pribadi kita. Kalau dalam keseharian, biasanya kita akan menyimpulkan
bahwa seorang dengan raut/garis wajah keriput atau yang sudah tua, biasanya
diindentikan dengan sifat bijaksana, tenang, wibawa dan lain sebagainya. Atau
orang dengan bentuk wajah persegi panjang, menunjukkan bahwa dia cukup kreatif
dan memiliki penguasaan diri yang baik. Atau lain lagi, bentuk wajah bulat,
yang menggambarkan watak seorang yang kuat dan percaya diri, serta berbagai
bentuk yang bisa dianalisis.
Kendati demikian, faceapp yang menggambarkan perbedaan wajah kita ketika diedit,
nyatanya tidak menunjukkan gambaran pribadi yang sebenarnya. Sebab watak,
karakter, dan kepribadian seseorang adalah suatu proses yang terbentuk secara
alamiah, bukan polesan atau editan. Memaksakan perubahan wajah melalui editan
aplikasi faceapp, tidak akan
menggambarkan keseluruhan kepribadian seseorang. Malah justru orang akan
semakin bingung dengan keadaan wajah yang sudah berubah tersebut. Hanya saja,
kebanyakan dari kita, langsung memberi komentar bahwa ‘wajahmu itu cocok, wajahmu itu sangat bijaksana, wajahmu itu imut’
dan lain sebagainya. Dalam berbagai komentar di medsos, saya kira kita jangan
terlalu prematur dalam menilai pribadi seseorang hanya melalui editan wajah di
aplikasi faceapp. Karena perubahan
wajah yang terpampang hanyalah sebuah editan, maka komentar kita pun harus
tepat sasar.
Belum lagi, seorang laki-laki yang mengedit/merubah
wajahnya menyerupai seorang ‘wanita’, saya rasa ini terlalu ‘berbahaya’ karena
kita bisa jatuh dalam pribadi yang sedikit ‘abnormal’ karena menganggap kalau
muka/wajah kita itu bagus dan cocok jika diubah menjadi pribadi yang lain. Kalau
hanya sekadar merubah wajah menjadi tua, atau muda, atau menjadi anak kecil,
saya kira itu masih normal. Tetapi kalau sudah merubah wajah sampai pada taraf
‘jenis kelamin’ (wajah laki-laki diedit menjadi perempuan & wajah perempuan
menjadi laki-laki), maka sekalipun itu dianggap biasa dan hanya untuk
seru-seruan, tetapi harus diingat bahwa kecendrungan kita ke arah abnormalitas kepribadian
bisa terbentuk. Mengapa? Karena mungkin saja seorang laki-laki akan merasa
lebih ‘cantik’ jika jadi perempuan ketimbang laki-laki, atau sebaliknya. Kalau
sampai terjadi seperti ini, saya rasa pribadi itu perlu mendapat penanganan
psikologis atau terapi klinis psikologis supaya ia bisa menyadari dan menerima
diri apaadanya.
Perlu saya tegaskan bahwa, saya tidak
menyalahkan penggunaan aplikasi faceapp itu,
tetapi yang mau saya garis bawahi di sini adalah bahwa kita jangan sampai tidak
menerima diri atau lebih suka mengedit diri dari pada merawat diri. Kita tidak
boleh lebih suka dengan pribadi editan di dunia maya, dari pada pribadi asli di
dunia nyata. Kita harus realistis dan menerima diri apa adanya. Kita harus
memberi apresiasi atas wajah dan bentuk muka kita yang asli (natural), sebab
dengan begitu kita akan merasa diri kita berharga, bernilai, unik dan
terbedakan dari lainnya. Penghargaan atas diri, akan sejalan dengan
meningkatnya efikasi diri, sebab keberhargaan dan kebernilaian diri pada
hakekatnya berawal dari diri kita sendiri. Kitalah hakim yang paling layak
memberi penilaian atas diri kita sendiri. Tanggapan dan respon orang lain
terhadap kita hanyalah tambahan untuk menegaskan eksistensi diri kita yang
sebenarnya. Ingat, wajah adalah cerminan hati. Jadilah pribadi dengan wajah
natural bukan artifisial, sehingga pribadi kita dapat dinilai dengan tepat.
Sebuah celotehan sederhana tapi mendalam; ‘wajah
itu dirawat, bukan diedit’ perlu kita indahkan agar kenaturalan wajah kita
bisa menggambarkan kepribadian yang sesungguhnya.
Komentar