New Normal



Meramal ‘New Normal’ Secara Optimal



Mewabahnya Covid-19 akan menjadi peristiwa terpenting dalam sejarah manusia yang pasti takkan terlupakan. Betapa tidak, di era yang sangat canggih ini kita masih harus berhadapan dengan musuh mematikan yang tak kasat mata. Berbagai gagasan dan strategi sudah kita usahakan, namun kita masih belum mampu memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang begitu masif. Entah sampai kapan, kita masih terus menanti berbagai informasi dari pemangku kebijakan dan dari mereka-mereka yang berkompetan di bidangnya.
Saya melihat bahwa adanya Covid-19 ini, telah membuat kita menjadi lebih mewas diri. Bahkan hidup kita sedang di ‘refresh’ agar tatanan dunia menjadi lebih teratur. Mungkin saja, ketidakteraturan perilaku kita itulah yang mngharuskan kita sejenak rehat dari kesibukan dan kebisingan aktivitas. Sudah banyak sekali strategi yang dilakukan untuk berperang melawan wabah virus mematikan ini. Sampai sekarang, kita hanya bisa berharap, kiranya dalam waktu dekat curva Covid-19 bisa menurun, dan aktivitas kita bisa kembali seperti biasanya.
Dalam masa darurat bencana yang sudah berakhir ini, maka Pemerintah kini menghendaki agar kita ‘berdamai’ atau hidup berdampingan dengan Covid-19. Memang benar bahwa kita tidak perlu terlalu cemas akan virus ini asalkan kita hidup secara teratur dan disiplin mengikuti semua himbauan dan instruksi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Anjuran pencegahan dalam protokol kesehatan yang sudah dikumandangkan sampai ke elemen masyarakat akar rumput perlu kita sadari dan indahkan. Kita tidak bisa berlama-lama terkurung dalam situasi ‘abnormal’ ini. Karena itu, mau tidak mau, kita harus bangkit, dan lebih berani lagi memerangi penyebaran virus ini. Sudah saatnya kita akan masuk dalam situasi di mana kita beraktivitas seperti biasa, tetapi tetap memperhatikan protokol kesehatan agar tidak terpapar virus mematikan ini. Inilah pemahaman sederhana dari konsep ‘new normal’ yang sedang ramai diperdebatkan mengenai waktu pelaksanaannya.
Terkait hal itu, Pemerintah sudah menyiapkan skema ‘new normal’ yang akan berlaku pada bulan Juni 2020 secara bertahap. Rencana ini menuai banyak komentar dan kritikan karena dinilai terlalu gegabah, padahal jumlah kasus positif masih terus meningkat setiap harinya. Pemerintah dan kita semua tentu memiliki harapan besar bahwa pemberlakuan ‘new normal’ bisa berhasil secara optimal. Akan tetapi, kita tak bisa menutup mata bahwa perilaku masyarakat saat ini, masih jauh dari kata ‘disiplin’ apalagi ‘taat’. Saya melihat, perilaku masyarakat kita seolah tidak peduli dan tidak takut dengan virus ini. Mereka kelihatan ‘masa bodoh’ dengan protokol kesehatan yang sudah sering disampaikan. Sebab itu, kita harus membiasakan diri untuk taat dan tertib. Kalau masih membangkang, Pemerintah perlu tangan untuk ‘menertibkan’, supaya para tenaga medis (kesehatan) pun tidak kesal dan memprotes perilaku masyarakat yang tidak taat, tidak peduli dan cuek terhadap protokol kesehatan dengan membuat tagar ‘Indonesia Terserah’.
Keterserahan dalam tagar yang sebelumnya ramai diperbincangkan itu sekalipun bernada menyerah, tapi sebenarnya yang mau ditonjolkan adalah kritik tenaga medis terhadap kebijakan Pemerintah yang dinilai ‘kurang’ serius dan terlalu cepat dalam mengatasi penyebaran wabah ini. Disamping itu, banyak orang yang menjadi pesimis dengan adanya pemberlakuan ‘new normal’ yang terlalu prematur karena setiap daerah mempunyai karakteristik masing-masing dan hal itu tentu membutuhkan aturan yang berbeda. Karena itu, Pemerintah harus mempersiapkannya secara matang, dan yang tak kalah pentingnya adalah perlu siapkan langkah antisipasi apabila muncul klaster baru Covid-19 setelah penerapan ‘new normal’.
Saya kira, saat ini bukan waktu yang tepat untuk saling mempersalahkan, atau mencari mana yang benar dan mana yang salah. Persiapan memasuki ‘new normal’ di tengah situasi ‘abnormal’ ini harus dioptimalkan oleh Pemerintah dan oleh kita sendiri. Kita haru memahami ‘new normal’ sebagai perubahan budaya dan berperilaku. Makna, ‘new normal’ yang bisa dilihat dari aktivitas dan perilaku kita antara lain; selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan, menjaga jarak dalam keramaian, dan seterusnya. Memang ini niat yang mulia dan wajib kita indahkan agar jumlah kasus bisa menurun.
Kita tidak boleh berjalan sendiri dan menjadi individualis dalam perjuangan melawan wabah ini. Karena itu, sikap saling menjaga, saling memperingati, saling membantu, saling berbagi, dan saling peduli harus terpatri dalam nurani kita. Situasi ‘new normal’ tidak boleh membuat kita menjadi egois, dan tidak peduli dengan sesama, apalagi tidak taat pada protokol kesehatan. Justru sebaliknya, ‘new normal’ harus membuat kita menjadi semakin peka, peduli, dan disiplin dalam menjaga kesehatan diri.
Sekali lagi, esensi dari ‘new normal’ bukan saja soal mengikuti protokol kesehatan, melainkan lebih kepada new paradigm, dan new behavior. Kita harus memiliki paradigma baru dalam upaya memahami hidup di tengah pandemi yang ‘mungkin’ tidak akan pernah hilang, supaya dengan demikian, kita juga akan memiliki perilaku baru dalam beraktivitas. Memang ini membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi, kalau paradigma dan perilaku kita sudah sejalan (menjadi baru), saya rasa adanya virus ini bukan lagi menjadi suatu persoalan yang harus ditakuti secara berlebihan. Panik itu rasa manusiawi, tapi bangkit dari kepanikan adalah tindakan ilahi yang musti tergaungkan setiap kita membuka mata di pagi hari.
Karena itu, hemat saya, kita jangan salah kaprah dalam menilai rencana Pemerintah, serta perilaku masyarakat saat ini. Sebab kalau terlalu lama terbungkus dalam situasi ini, kita bisa saja menjadi ‘nyaman’ dan akan menjadi tidak peduli. Kita masih perlu beraktivitas, bekerja, berpikir dan berkeringat untuk mempertahankan hidup. Niat baik Pemerintah (sekalipun dianggap terlalu terburu-buru) perlu kita terima dengan catatan khusus. Bahwasannya, setiap daerah memiliki karakteristik kasus yang berbeda, sehingga pola kebijakan pasti akan disesuaikan. Indonesia adalah Negara besar, sehingga kita yang berdiam didalamnya patut memiliki jiwa besar. Persiapan kita dalam menyambut ‘new normal’ harus optimal sesuai keadaan dan situasi yang dialami di tempat tinggal kita msing-masing. Inilah harapan kita bersama, harapan pada situasi baru, yang akan menjadikan hidup kita pun menjadi baru dalam kenormalan, baru dalam paradigma, dan baru dalam berperilaku. Dengan demikian, kita harus jeli dan bijak dalam berpikir, berperilaku, beraktivitas, berbagi, dan menilai, sehingga situasi abnormal saat ini dapat tergantikan dengan‘new normal’ yang optimal.

Komentar

Postingan Populer