HARI LAHIRNYA PANCASILA : 'Rumah Kita Bersama'
Refleksi
di Hari Lahirnya Pancasila 01 Juni 2020
…Pancasila
rumah kita - Rumah untuk kita semua
Nilai dasar Indonesia - Rumah kita selamanya…
------------------------------------------------------------------------
Penggalan lirik lagu ‘PANCASILA RUMAH KITA’ karya
Frangky Sahilatua mengawali tulisan singkat saya untuk merenung Hari Lahirnya
Pancasila pada hari ini, 01 Juni 2020 untuk melihat kembali Pancasila yang sudah
mempersatukan kita selama ini.
Ada
suatu pertanyaan yang mungkin agak aneh. “Siapakah
di antara kita yang tidak merindukan adanya persatuan?” Mengapa saya
katakan aneh, karena pertanyaan itu sudah sangat jelas, sehingga tidak perlu
dilontarkan lagi sebagai suatu pertanyaan, dan sekalipun ada jawaban yang jelas
dan mendasar, tetapi pertanyaan itu sendiri terasa masih mengambang dan tidak
jelas mana titik pangkal dan muaranya. Karena itu, dengan sedikit berfilsafat,
pertanyaan itu menjadi gamblang, dan permasalahan yang diajukan menjadi tidak
mudah dan sederhana untuk diselesaikan seperti yang kita sangka.
Saya
mengajak kita untuk coba bertanya kedalam diri sendiri, seperti dalam bahasa
Latin dinamakan ‘soliloqui’ (bertanya
kepada diri sendiri dalam sebuah refleksi), satukah aku? atau satukah anda? Jawabannya sangat jelas, bahwa
‘aku’ atau ‘saya’ adalah satu kesatuan yang utuh. Apa saja yang saya lakukan,
pikirkan, alami, dan yang saya harapkan semuanya menyatu dalam diri saya. Jelas
sekali, bahwa saya yang sedang membaca atau sedang belajar, satu dan sama
dengan saya yang tadi sedang makan, atau sama dengan saya yang tadi sedang
bekerja, sedang sedang beraktivitas, sama dengan saya yang sedang galau dan cemas akan bahaya
Covid-19, dan akan tetap satu
dan sama dengan saya yang akan berbuat sesuatu yang lain nanti dan seterusnya.
Karena itu, ada kesadaran bahwa saya yang dahulu tetap satu dan sama dengan
saya yang sekarang dan saya di kemudian hari (nanti). Akhirnya, saya adalah
satu dan sama, entah dengan siapa atau apa pun, berkomunikasi serta
berinteraksi. Saya yang tadinya berkomunikasi dengan Tuhan dalam doa, satu dan
sama dengan saya yang sedang berkomunikasi dengan orang lain. Saya tetaplah
‘saya’ yang satu, unik dan yang tak bisa dipertukarkan dengan apa pun yang
lain, sekalipun yang lain itu sangat berharga atau bernilai.
Memang
benar bahwa saya dan kita semua tentunya, mempunyai kesadaran yang tinggi akan
kesatuan dalam diri pribadi, baik dalam hubungan dengan berbagai pengalaman,
dalam hubungan dengan waktu di mana kita berkembang, maupun dalam berkomunikasi
dengan yang lain. Akan tetapi, dibalik keyakinan akan yang satu, sama dan unik
itu, ada pertanyaan yang menggergoti rasa kesatuan dan keutuhan diri, yang
tidak mudah untuk disatukan dalam suatu keutuhan yang integral. Kehidupan saat
itu begitu kompleks, baik dalam taraf kesadaran maupun dalam tuntutan kebutuhan
hidup kita masing-masing. Kesadaran akan keberagaman hal yang menyangkut diri
kita, membuat kita merasa tidak bisa bersatu secara untuh. Bukankah sebagai pribadi biasa kita sering terlibat dalam perang batin
karena apa yang diketahui dan dikehendaki berbeda atau bahkan bertolak belekang
dengan kenyataan? Misalnya, ketika orang lain berbicara tentang diri kita, yang
mungkin sangatlah masuk akal, tetapi kerena perasaan dan egoisme, sering kali
kita memberontak dan mencari cara lain untuk membenarkan diri, bahkan mencari
cara untuk membalas dendam kerena perasaan kita tadi tidak bisa menerima begitu
saja. Daftar persoalan ini bisa kita perpanjang sendiri sesuai pengalaman kita
masing-masing. Intinya, semua itu membuat kita tidak percaya bahkan bingung
untuk menentukan siapakah diri kita sebenarnya dan bagaimana menciptakan suatu
kesatuan yang utuh.
Dalam
kenyataan hidup bersama, ada banyak hal yang berbeda dan saling bertentangan.
Namun perbedaan dan pertentangan itu tidak boleh membuat kita patah semangat
dalam menciptakan kesatuan yang utuh. Kita menyadari bahwa diri kita merupakan
satu kesatuan yang utuh dari berbagai unsur yang memiliki kebutuhan yang
berbeda dan pemenuhan yang berbeda pula. Namun kesatuan diri sebagai suatu
subyek yang sama dalam pelbagai pengalaman yang berbeda, merupakan syarat
mutlak kepribadian yang kokoh. Kepribadian yang kokoh itu menuntut adanya
kesatuan ide dalam diri, khususnya dalam menanggapi dan memenuhi banyak
tuntutan. Sebenarnya, kesadaran akan kesatuan sudah tercermin dalam sejarah
kehidupan dan pemikiran manusia di segala zaman, mulai dari zaman Klasik sampai
post modern saat ini, baik itu di bidang Pengetahuan,
maupun Moral.
Berhubungan
dengan kesatuan pengetahuan, sejak Plato (Seorang Filsuf Klasik-Yunani) sudah
ada kesadaran akan pentingnya kesatuan pengetahuan manusia sebagai saranya
untuk mencapai tujun hidup yang sesungguuhnya. Bagi Plato, pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan mengenai dunia ‘ide’.
Maka kalau manusia ingin mencapai tujuan hidupnya, yaitu jiwa yang terbebaskan,
maka ia harus memiliki pengetahuan sejati untuk mengarahkan hidupnya. Berarti,
hanya ada satu pengetahuan yang penting diketahui yaitu pengetahuan akan dunia
ide. Keinginan kesatuan pengetahuan ini kembali ditegaskan oleh salah seorang
Filsuf Modern seperti Rene Descartes. Bagi Descartes, hanya ada satu
pengetahuan dan satu metode. Pengetahuan yang satu itu harus bersifat pasti dan
eviden. Pengetahuan itulah yang akan membawa manusia pada satu kebijaksanaan
yang satu dan sama. Maka pengetahuan yang berbeda-beda harus mengacu pada
pengetauan yang sama.
Sealin
itu, manusia juga mendambakan kesatuan, dalam hal kehidupan moralnya. Etika
Thomas Aquinas (Filsuf Klasik-Abad Pertengahan), yang didasarkan pada etika
Aristoteles, bersifat eudaimonistik dan teologis. Segala tindakan manusia
selalu tertuju pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi
tindakan manusia adalah Allah sendiri sebagai kebaikan tertinggi dan tak
terbatas. Kebahagiaan tertinggi ini, diterangkan oleh budi praktis manusia
sebagai prinsip moral, yaitu bahwa kebaikan harus dikerjakan dan dikejar. Hukum
moral adalah cerminan hukum kodrat. Dan hukum kodrat adalah cerminan hukum
abadi, yang tidak lain adalah kehendak Allah sendiri. Karena saya menganut
paham Monoteis, maka bagi saya Allah hanya satu dan karena itu kehendak-Nya
juga hanya satu. Hukum kodrat berlaku untuk semua manusia. Jadi terdapat
kesatuan hukum moral, yang adalah cerminan hukum kodrat, bagi manusia di mana
pun dan kapan pun.
Dari
pembahasan di atas, harus dikatakan bahwa kerinduan bangsa Indonesia akan
terwujudnya kesatuan dari pengalaman yang beraneka ragam tersebut merupakan
perwujudan kerinduan dari segenap manusia sepanjangg sejarah bangsa ini.
Kerinduan kesatuan itu terkristal dalam ‘PANCASILA’.
Kesatuan yang terwujud dalam Pancasila itu, menuntun kita kepada kesadaran
bahwa hal inilah yang harusnya menjadi fokus perhatian, keprihatinan dan
dambaan bangsa Indonesia, baik dalam memandang kehidupan, maupun daam memperjuangkannya.
Untuk itulah dalam upaya merumuskan filsafat pancasila, kita perlu bertolak
dari kerinduan tersebut. Kerinduan akan kesatuan dalam keberagaman ini tersirat
juga dalam ‘Eka Darmaputra’ yang mengidentifikasinya dalam pandangan dunia yang
totalistis, dualistis dan hirarkis. Namun, Eka Darmaputra sediri mengakui bahwa
penekanan pada ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang
dihidupi bangsa Indonesia lebih merupakan keyakinan yang implisit dari pada
ajaran yang jelas dan tegas. Sangat diharapkan agar yang merupakan ‘ortopraksi’
dikembangkan menjadi ‘ortodoksi’, sehingga perjuangan bersama bangsa Indonesia
mendapat pegangan yang kuat dan jelas. Dengan kata lain, eksplisitasi dari apa
yang implisit masih merupakan harapan yang perlu ditanggapi dan diperhatikan serius.
Dalam
kaitannya denga Pancasila, Driyarkara memahami kesatuan dari keberagaman itu
dengan bertitik tolak pada manusia. Dia mengatakan : “Pancasila adalah inheren (melekat) pada diri
manusia sebagai manusia, lepas dari keadaan yang tertutup pada kongkretnya.
Sebab itu dengan memandang kodrat manusia ‘qua talis‘ (sebagai manusia), kita
juga akan sampai pada Pancasila ”.
Namun penyajian
Driyarkara ini harus diberi catatan. Pertama, dari apa yang dikatakannya itu,
kita tidak boleh menyimpulkan bahwa manusia merupakan pusat terpenting dari
kenyataan. Yang menjadi prioritas utama adalah Tuhan sendiri. Kita manusia
hanyalah merupakan salah satu ‘akibatNya’. Kedua, penalaran Driyarkara lebih
mengarah kepada pembenaran Pancasila sebagai filsafat dari pada mengutarakan
suatu filsafat yang terdapat dalam Pancasila itu sendiri. Walaupun demikian,
harus diakui bahwa apa yang dikatakan Driyarkara ini juga bermanfaat bagi
dialog antara bangsa Indonesia dengan negara-negara yang bertitik tolak pada
kemanusiaan. Namun apa persisnya filsafat yang terdapat dalam Pancasila tetap
belum tersingkap. Untuk itu, filsafat yang merupakan sistem ide yang terkandung
di dalam Pancasila perlu mendapat perumusannya yang tepat.
Dalam
upaya menyingkapkan filsafat yang terkandung dalam Pancasila, Notonegoro
mengatakan bahwa Pancasila merupakan asas kerohanian yang mempunyai susunan
hirarkis piramidal. Ia melihat bahwa gerakan dari sila pertama sampai pada sila
ke lima, merupakan gerakan dari asas yang terluas sampai kepada asas yang
khusus. Sila yang awal merupakan dasar bagi sila berikutnya dan sila yang
kemudian merupakan pengkhususan dari sila sebelumnya. Karena itu, baginya
Pancasila harus dilihat sebagai suatu kesatuan dengan susunan yang tertentu
pula. Maka, apa yang bisa kita pelajari dari tesis Notonegoro ini? Yang
jelasnya, adalah bahwa cara memandang Pancasila sebagai satu kesatuan yang
butir-butirnya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, sangat sesuai dengan
semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjadi fokus pembicaraan kita. Dari sini,
dapat kita lihat, ternyata semangat dan kerinduan untuk bersatu dalam diri
bangsa Indonesia telah terukir dalam setiap hati manusia. Dan semangat itu
terangkum dalam PANCASILA dengan salah satu filsafatnya yaitu
Bhineka Tuunggal Ika. Semangat filsafat Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam
Pancasila harus menadi dasar bagi cara pandang kita dalam memahami Pancasila,
di mana sila-sila yang berbeda itu perlu mendapat tekanan. Dengan begitu, kerinduan
untuk bersatu dalam keberagaman kita semua dapat tercapai. Together
We Can...
Komentar