Apakah debat adalah budaya kita?

Jawabannya adalah Ya!. Debat adalah budaya kita. Debat sejatinya adalah budaya kita, bahkan budaya semua manusia. Kita tahu, konstitusi kita ini lahir dari debat yang keras, tajam dgn koherensi argumentasi yg terukur, sebab diatas meja perdebatan itu, terurai maksud yang logis untuk diduelkan. Nah, jika melihat kenyataan skarang, banyak orang yang anti debat. Bahkan bisa dibilang hampir semua pemimpim (Pemerintah) itu takut debat. Padahal kita ini hampir tiap hari selalu berdebat. Kalau debat bukan budaya kita, maka untuk apa ada universitas? Untuk apa kita pakai demokrasi yang juga bukan budaya kita? Tutup saja kampus jika kita takut atau tidak mau berdebat.

Sejatinya, tujuan debat itu untuk mengukur alur berpikir seseorang. Akan sangat berbahaya kalau ada orang bilang berdebat itu sama dengan menciptakan permusuhan. Padahal debat itu artinya menegur pikiran lawan, bukan mengatur etika orang. Debat itu artinya menggores pikiran orang. mengiris argumentasi yang sedang dibentuk dari aktivitas berpikir. Dalam berdebat, jangan buru-buru melakukan interupsi, sebab interupsi itu sama adalah upaya menghambat/menutup keran berpikir orang lain. Sehingga interupsi sebaiknya diabaikan saja, santai saja jika ada orang yang menginterupsi jalannya pikiran kita.

Memang debat kadang bisa membuat mental orang jatuh. Orang bisa saja merasa ‘dungu’ jika tidak mampu berdebat. Kalau demikian, kan sederhana saja, tinggal diisi saja otaknya dengan menambah pengetahuan dan alur berpikir, maka rasa kedunguan kita akan selesai. Tidak perlu baper dalam berdebat. Manusia itu tumbuh dan hidup dalam otentisiti pikiran. Tugas kita sebagai manusia adalah mengalirkan pikiran. Kalau pikiran tidak mengalir artinya di kepalanya itu ada wikipedia sehingga tiadk perlu berpikir lagi. Yang otentik adalah cara berpikir seseorang, sebab pikiran yang mengalir itu tidak dapat di-copy paste, sehingga dimungkinkanlah sebuah perdebatan.

Jadi, seseorang akan disebut memiliki pikiran, jika ada orang lain yang menentang pikirannya. Kalau tidak ada yang menentang/berdebat, itu tandanya ada anda tidak sedang berpikir. Kalau pikiran anda diganggu/digores orang lain, itu tandanya anda sedang berpikir atau punya pikiran. Kalau tidak mau diganggu, itu namanya anda sedang berdoa bukan berpikir. Kita tidak boleh ganggu oang yang sedang berdoa. Tapi kita harus ganggu orang yang sedang berpikir.

Bagaimana cara menjawab interupsi dari lawan bicara?

Cara menjawab interupsi orang adalah dengan tidak perlu diikuti. Kalau ada rang lain yang menginterupsi, itu tandanya dia mau menghambat/menutup keran pikiran kita yang sementara mengalir. Benar bahwa interupsi itu tandanya seorang sedang mengganggu pikiran kita, tapi bukan dengan argumen. Jadi, interupsi itu sebaiknya kita jadikan suatu intermeso atau bahan olok-olokan saja. Santai saja. Interupsi itu sebaiknya tidak perlu ditanggapi serius. Nikmati saja interupsi orang lain dengan santai.

Yang jadi persoalan dalam berdebat adalah, kadang kita tidak tega mengiris/menggores pikiran orang. Padahal itu penting. Berdebat tidak perlu dendam. Orang dendam tandanya dia tidak sanggup debat. Jadikan ruang berdebat sebagai sebuah festival berpikir.

Yang menghalangi debat saat ini karena adanya feodalisme. Contoh, di kampus, banyak mahasiswa yang tidak berani berdebat dengan dosennya. Mahasiswa hanya manut-manut saja. Itulah feodalisme kampus yang harus dihapus. Kalau ada mahasiswa yang tidak berdebat, beri saja dia nilai nol (E), karena dia tidak berani berpikir. Tanda seorang berpikir adalah dia mau berdebat dan itulah indahnya ilmu pengetahuan.

Apakah debat harus berdasarkan data?

Tidak! Debat itu adalah memenangkan argumentasi berpikir, bukan memaparkan data. Kalau ada data, buat apa berpikir? Taru saja data itu untuk dilihat. Adu data itu tanda orang tidak mau berpikir. Justru Karena data itu lemah, maka tugas kita adalah menempel/tambah data itu dengan kekuatan logika. Contoh, jika saya punya 10 data, anda punya 12 data, itu berarti anda pasti menang. Kalau begitu, saya akan menambah data biar saya menang. Akibatnya, yang ada di meja/ruang perdebatan hanyalah data vs data. Itu bukan debat. Debat adalah argumen vs argumen. Data cukup dilihat sebagai tambahan saja.  Debat itu bukan adu data tapi adu argumentasi. Data haruslah dilihat sebagai bonus untuk referensi. Yang orang mau lihat dalam debat adalah argumen anda setajam apa. Data itu bisa dicek belakangan kan? Jadi, jangan andalkan debat itu dengan data, sebab itu namanya anda bawa laptop ke ruang perdebatan. Kan tidak ada data yang sempurna. Yang sempurna adalah logika berpikir. Reasoning-nya. Penalarannya. Itu yg sempurna.

Apakah debat bisa mendapatkan kebenaran mutlak?

Tidak! Debat itu untuk menguji alur berpikir orang lain. Debat itu tidak serta merta harus mencari kebenaran mutlak, tapi menguji alur berpikir seorang yang sedang mengalir. Fungsi debat bukan untuk menghasilkan kebenaran, tapi menguji ketajaman logika berpikir seseorang. Kalau mau mencari kebenaran mutlak, maka tinggal mengecek saja data yang ada.

Dalam berdebat, kita tidak perlu waktu lama, karena yg dicari dan diuji dalam sebuah debat adalah logika dan alur berpikir yang dibangun oleh orang lain, dan bukan mencari kebenaran data. Itulah pentingnya mempelajari false reasoning. Contoh, logika palsu atau penalaran yang salah, misalnya ada yg tanya, saya sudah makan atau belum. Saya jawab belum. Lalu dia menyimpulkan saya lapar dan mau ajak makan. Kamu lapar kah?. Nah itulah kesalahan berpikirnya, sebab saya menjawab saya belum makan, bukan saya lapar. Jadi, kalau saya bilang saya belum makan, lalu diasumsikan/disimpulkan oleh orang lain bahwa saya lapar, nah, itu logika yg keliru. Kenapa tidak dibalik, kalau saya belum makan artinya saya sudah kenyang. Kecepatan untuk memutuskan/menyimpulkan argumen itu yg menjadi misteri debat. Jadi, kita harus cepat mengintip logika berpikir dari lawan debat. Nah, kadang kala lawan debat membuat kesalahan penalaran (reasoning) itu karena adanya feodalisme atau basa-basi, tidak mau menyinggung perasaan dan sebagainya. Padahal debat itu bukan untuk menyinggung perasaan tapi menyinggung alur berpikir/pikiran.

Banyak orang kita yg sensitif kalau didebat. Itu bukan urusan kita kalau kita ingin berdebat. Yang harus terbangun saat ini adalah masyarakat yang argumentatif (argumentative society). Musuhnya adalah feodalisme. Maka yg harus dibangun dahulu adalah hilangkan fedalismenya. Kalau kamu sensitif tidak perlu berdebat saja.

Bagaimana cara melatih nalar, logika, retorika, dialektika dalam berdebat?

Di kampus, pada awal semester, mahasiswa harus dilatih berargumen supaya semester 2-8 isinya adalah perdebatan di kelas. Ajarkan teknik membaca argumen lawan debat. Ingatlah bahwa debat itu artinya upaya untuk membatalkan argumen lawan yang sedang mengalir. Bagaimana caranya? Nah, caranya adalah intip, temukan logical fallacy yang ia bangun sendiri dalam argumennya. Supaya masyarakat Indonesia hidup dalam dimensi debat, maka hilangkan dulu feodalisme karena feodalisme itu memperburuk demokrasi. Demokrasi harus hidup dengan debat. UUD kita dihasilkan dari pendiri bangsa yg piawai dalam beretorika dan lurus dalam logika. Ada perdebatan intelektual yang bermutu di atas meja perdebatan kala itu, sehingga terbentuklah konstitusi (UUD). Karena itu, dosen harus jadikan mahasiswa sebagai TTM (Teman Tapi Mikir). Dosen harus menganggap mahasiswa sebagai teman berpikir. Pikiran bermutu hanya ada diatas meja perdebatan atau di atas ruang anrgumentasi. Kalau di bawa meja itu namanya ‘amplop’ suap.

 

Komentar

Postingan Populer