Apakah debat
adalah budaya kita?
Sejatinya, tujuan debat itu untuk mengukur alur
berpikir seseorang. Akan sangat berbahaya kalau ada orang bilang berdebat itu
sama dengan menciptakan permusuhan. Padahal debat itu artinya menegur pikiran
lawan, bukan mengatur etika orang. Debat itu artinya menggores pikiran orang. mengiris
argumentasi yang sedang dibentuk dari aktivitas berpikir. Dalam berdebat,
jangan buru-buru melakukan interupsi, sebab interupsi itu sama adalah upaya
menghambat/menutup keran berpikir orang lain. Sehingga interupsi sebaiknya
diabaikan saja, santai saja jika ada orang yang menginterupsi jalannya pikiran
kita.
Memang debat kadang bisa membuat mental orang jatuh.
Orang bisa saja merasa ‘dungu’ jika tidak mampu berdebat. Kalau demikian, kan
sederhana saja, tinggal diisi saja otaknya dengan menambah pengetahuan dan alur
berpikir, maka rasa kedunguan kita akan selesai. Tidak perlu baper dalam
berdebat. Manusia itu tumbuh dan hidup dalam otentisiti pikiran. Tugas kita
sebagai manusia adalah mengalirkan pikiran. Kalau pikiran tidak mengalir
artinya di kepalanya itu ada wikipedia sehingga tiadk perlu berpikir lagi. Yang
otentik adalah cara berpikir seseorang, sebab pikiran yang mengalir itu tidak
dapat di-copy paste, sehingga dimungkinkanlah sebuah perdebatan.
Jadi, seseorang akan disebut memiliki pikiran, jika
ada orang lain yang menentang pikirannya. Kalau tidak ada yang menentang/berdebat,
itu tandanya ada anda tidak sedang berpikir. Kalau pikiran anda
diganggu/digores orang lain, itu tandanya anda sedang berpikir atau punya
pikiran. Kalau tidak mau diganggu, itu namanya anda sedang berdoa bukan
berpikir. Kita tidak boleh ganggu oang yang sedang berdoa. Tapi kita harus
ganggu orang yang sedang berpikir.
Bagaimana cara
menjawab interupsi dari lawan bicara?
Cara menjawab interupsi orang adalah dengan tidak perlu
diikuti. Kalau ada rang lain yang menginterupsi, itu tandanya dia mau
menghambat/menutup keran pikiran kita yang sementara mengalir. Benar bahwa
interupsi itu tandanya seorang sedang mengganggu pikiran kita, tapi bukan
dengan argumen. Jadi, interupsi itu sebaiknya kita jadikan suatu intermeso atau
bahan olok-olokan saja. Santai saja. Interupsi itu sebaiknya tidak perlu
ditanggapi serius. Nikmati saja interupsi orang lain dengan santai.
Yang jadi persoalan dalam berdebat adalah, kadang
kita tidak tega mengiris/menggores pikiran orang. Padahal itu penting. Berdebat
tidak perlu dendam. Orang dendam tandanya dia tidak sanggup debat. Jadikan
ruang berdebat sebagai sebuah festival berpikir.
Yang menghalangi debat saat ini karena adanya feodalisme.
Contoh, di kampus, banyak mahasiswa yang tidak berani berdebat dengan dosennya.
Mahasiswa hanya manut-manut saja. Itulah feodalisme kampus yang harus dihapus. Kalau
ada mahasiswa yang tidak berdebat, beri saja dia nilai nol (E), karena dia
tidak berani berpikir. Tanda seorang berpikir adalah dia mau berdebat dan itulah
indahnya ilmu pengetahuan.
Apakah debat
harus berdasarkan data?
Tidak! Debat itu adalah memenangkan argumentasi
berpikir, bukan memaparkan data. Kalau ada data, buat apa berpikir? Taru saja
data itu untuk dilihat. Adu data itu tanda orang tidak mau berpikir. Justru Karena
data itu lemah, maka tugas kita adalah menempel/tambah data itu dengan kekuatan
logika. Contoh, jika saya punya 10 data, anda punya 12 data, itu berarti anda pasti
menang. Kalau begitu, saya akan menambah data biar saya menang. Akibatnya, yang
ada di meja/ruang perdebatan hanyalah data vs data. Itu bukan debat. Debat
adalah argumen vs argumen. Data cukup dilihat sebagai tambahan saja. Debat itu bukan adu data tapi adu argumentasi.
Data haruslah dilihat sebagai bonus untuk referensi. Yang orang mau lihat dalam
debat adalah argumen anda setajam apa. Data itu bisa dicek belakangan kan? Jadi,
jangan andalkan debat itu dengan data, sebab itu namanya anda bawa laptop ke
ruang perdebatan. Kan tidak ada data yang sempurna. Yang sempurna adalah logika
berpikir. Reasoning-nya. Penalarannya.
Itu yg sempurna.
Apakah debat
bisa mendapatkan kebenaran mutlak?
Tidak! Debat itu untuk menguji alur berpikir orang
lain. Debat itu tidak serta merta harus mencari kebenaran mutlak, tapi menguji
alur berpikir seorang yang sedang mengalir. Fungsi debat bukan untuk
menghasilkan kebenaran, tapi menguji ketajaman logika berpikir seseorang. Kalau
mau mencari kebenaran mutlak, maka tinggal mengecek saja data yang ada.
Dalam berdebat, kita tidak perlu waktu lama, karena yg
dicari dan diuji dalam sebuah debat adalah logika dan alur berpikir yang
dibangun oleh orang lain, dan bukan mencari kebenaran data. Itulah pentingnya
mempelajari false reasoning. Contoh,
logika palsu atau penalaran yang salah, misalnya ada yg tanya, saya sudah makan
atau belum. Saya jawab belum. Lalu dia menyimpulkan saya lapar dan mau ajak
makan. Kamu lapar kah?. Nah itulah kesalahan berpikirnya, sebab saya menjawab
saya belum makan, bukan saya lapar. Jadi, kalau saya bilang saya belum makan,
lalu diasumsikan/disimpulkan oleh orang lain bahwa saya lapar, nah, itu logika
yg keliru. Kenapa tidak dibalik, kalau saya belum makan artinya saya sudah
kenyang. Kecepatan untuk memutuskan/menyimpulkan argumen itu yg menjadi misteri
debat. Jadi, kita harus cepat mengintip logika berpikir dari lawan debat. Nah, kadang
kala lawan debat membuat kesalahan penalaran (reasoning) itu karena adanya feodalisme atau basa-basi, tidak mau
menyinggung perasaan dan sebagainya. Padahal debat itu bukan untuk menyinggung
perasaan tapi menyinggung alur berpikir/pikiran.
Banyak orang kita yg sensitif kalau didebat. Itu bukan
urusan kita kalau kita ingin berdebat. Yang harus terbangun saat ini adalah
masyarakat yang argumentatif (argumentative
society). Musuhnya adalah feodalisme.
Maka yg harus dibangun dahulu adalah hilangkan fedalismenya. Kalau kamu sensitif
tidak perlu berdebat saja.
Bagaimana cara
melatih nalar, logika, retorika, dialektika dalam berdebat?
Di kampus, pada awal semester, mahasiswa harus
dilatih berargumen supaya semester 2-8 isinya adalah perdebatan di kelas. Ajarkan
teknik membaca argumen lawan debat. Ingatlah bahwa debat itu artinya upaya
untuk membatalkan argumen lawan yang sedang mengalir. Bagaimana caranya? Nah, caranya
adalah intip, temukan logical fallacy yang ia bangun sendiri dalam
argumennya. Supaya masyarakat Indonesia hidup dalam dimensi debat, maka
hilangkan dulu feodalisme karena feodalisme itu memperburuk demokrasi. Demokrasi
harus hidup dengan debat. UUD kita dihasilkan dari pendiri bangsa yg piawai
dalam beretorika dan lurus dalam logika. Ada perdebatan intelektual yang
bermutu di atas meja perdebatan kala itu, sehingga terbentuklah konstitusi
(UUD). Karena itu, dosen harus jadikan mahasiswa sebagai TTM (Teman Tapi
Mikir). Dosen harus menganggap mahasiswa sebagai teman berpikir. Pikiran bermutu
hanya ada diatas meja perdebatan atau di atas ruang anrgumentasi. Kalau di bawa
meja itu namanya ‘amplop’ suap.
Komentar