Program 'DASHAT' BKKBN, untuk NTT Bebas Stunting

Menjadi ketua percepatan penurunan stunting merupakan sebuah amanah penting sekaligus tantangan besar bagi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), karena telah ditunjuk sebagai ketua tim pelaksana percepatan penurunan stunting, oleh Presiden Jokowi. Betapa tidak, instruksi tersebut kemudian direspon dengan berbagai program percepatan yang dicanangkan oleh BKKBN. Salah satunya adalah program Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) yang baru saja diluncurkan di Auditorium Pemerintah Kabupaten Bogor, Jumat, (20/08/2021). Tujuan dicanangkannya program ini adalah sebagai salah satu upaya percepatan penurunan angka prevalensi stunting yang masih tinggi.

Tak lepas dari itu, program ini sudah menjadi pokok perhatian ketika BKKBN merayakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke 28 tahun ini, di mana moment refleksi keluarga pada Harganas tersebut difokuskan pada persoalan gizi anak-anak kita sebagai generasi emas bangsa, sebab status gizi yang kurang baik bisa menyebabkan banyak persoalan, salah satunya adalah masalah stuting. Inilah yang kemudian menjadi titik sentral perhatian BKKBN bersama semua mitra (stakeholder) untuk mencegah sekaligus meminimalisir angka stunting. Atas dasar itulah, maka peringatan Harganas pun mengangkat tema ‘Keluarga Keren, Cegah Stunting’.

Mengapa isu stunting itu penting?

Bicara mengenai persoalan stunting, tentu banyak dari kita yang sudah memahami.  Isu ini menjadi penting sebab persoalan stunting berpotensi mengganggu kualitas sumber daya manusia dan berhubungan dengan tingkat kesehatan, bahkan kematian anak. Hasil survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan bahwa angka stunting di Indonesia berada pada angka 27,67% pada tahun 2019. Walaupun angka stunting ini menurun jika dibandingkan dengan data tahun 2013 silam (37,8%), namun angka tersebut masih dinilai tinggi, mengingat WHO menargetkan angka stunting tidak boleh lebih dari 20 persen. Yang cukup parah adalah bahwa sampai saat ini Indonesia masih berada di peringkat ke empat dunia, dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting (Kompas.com 19/5/21). Belum lagi, di masa pandemi covid-19 tahun 2020, maka angka stunting mungkin saja bisa mengalami kenaikan.

Disamping itu, data dari Bank Dunia atau World Bank mengatakan bahwa angkatan kerja yang pada masa bayinya mengalami stunting mencapai 54%. Artinya, sebanyak 54% angkatan kerja saat ini adalah penyintas stunting. Karena itu, isu stunting kemudian menjadi masalah penting bagi Pemerintah (BKKBN.go.id, 18/2/2021). Inilah yang kemudian menjadi PR besar bagi BKKBN untuk bekerja ekstra dan serius agar angka stunting bisa turun menjadi 14% di tahun 2024 seturut instruksi Presiden.

Bagaimana Stunting di NTT?

Saya cukup miris ketika mengetahui bahwa provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia adalah Provinsi NTT. Data Kemenkes 2018 menunjukkan persentase balita stunting di NTT berada di angka 42,7%, disusul Provinsi Sulawesi Barat sebesar 41,6%. Provinsi dengan persentase balita stunting tinggi selanjutnya adalah Sulawesi Selatan (35,7 persen), Kalimantan Tengah (34 persen), dan Kalimantan Barat (33,3 persen). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, sebanyak 269.658 balita dari 633.000 balita di NTT tercatat mengalami stunting (berbadan pendek) dan 75.960 balita di antaranya mengalami wasting (kurus). Tingginya penderita balita stunting di NTT disebabkan oleh faktor gizi yang sangat kurang. Banyak ibu-ibu saat hamil tidak memberikan asupan gizi yang baik sehingga melahirkan anak dengan postur tubuh kerdil.

Kendati demikian, menurut Kadis Kesehatan NTT, prevalensi balita stunting dalam tiga tahun terakhir di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus mengalami penurunan. Jumlah stunting pada 2018 sebesar 30,1 persen, kemudian di tahun 2019 menurun menjadi 27,9 persen, dan hingga periode Agustus 2020 sebesar 27,5 persen, (Gatra.com). Dengan angka stunting yang masih tinggi ini, maka Gubernur NTT kemudian menginstruksikan Perwakilan BKKBN Provinsi NTT untuk bekerja ekstra menurunkan angka stunting menjadi 15% di tahun 2022, dan harus mencapai 9% di tahun 2023 mendatang.

Untuk bisa sampai pada target itu, memang membutuhkan kerja sama yang solid dari berbagai stakeholder. BKKBN tidak bisa bekerja sendirian, tetapi butuh kerja sama dari semua mitra agar target yang diinstruksikan Gubernur NTT dan Presiden bisa tercapai. Karena itu, perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan yang intens kepada semua keluarga di NTT, terkhusus bagi para ibu-ibu hamil dan menyusui, agar bisa memperhatikan status gizi anak-anaknya semasa hamil sampai anak berusia 2 tahun. Tak lupa pula bagi para calon ibu (remaja wanita) agar bisa memahami kesehatan reproduksi dan membangun perencanaan hidup berkeluarga secara matang. Keluarga NTT harus memiliki pemahaman yang baik mengenai faktor resiko yang mempengaruhi stunting serta cara mencegahnya agar anak-anak kita tidak sampai berpotensi terdampak stunting.

DASHAT untuk NTT Bebas Stunting

Melalui program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana), BKKBN terus menggenjot para Penyuluh KB (PKB) untuk memberikan penyuluhan ke tingkat dasar, supaya semua keluarga tergerak dan mau ber-KB untuk menjaga jarak kelahiran, sehingga jumlah anak bisa terkendali dan ketercukupan gizi menjadi lebih optimal. Selain itu, salah satu strategi BKKBN untuk mencegah kekurangan gizi balita adalah dengan mengadakan program Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) yang akan diadakan di setiap Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB) lokus stunting, dan menjadi pusat gizi serta pelayanan pada anak stunting. BKKBN bersama para ahli gizi telah menyusun menu sehat dengan konsep produk pangan lokal, sehingga bisa memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat sendiri.

DASHAT merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemenuhan gizi seimbang bagi keluarga berisiko stunting yang memiliki calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, baduta/balita stunting, terutama dari keluarga kurang mampu. Melalui pemanfaatan sumberdaya lokal (termasuk bahan pangan lokal) yang dapat dipadukan dengan sumberdaya/kontribusi dari mitra lainnya. Karena itu, Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB) saat ini, tidak hanya fokus pada pemberian pemahaman kesehatan keluarga, kesehatan reproduksi, serta program KB, tetapi juga memiliki pilar layanan pembangunan kesejahteraan keluarga, pelayanan teknis kesehatan, perbaikan infrastruktur kesehatan, dan ekonomi, serta pendidikan pengasuhan dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga wadah Kampung KB ini kemudian dijadikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat melalui berbagai macam program yang mengarah pada upaya merubah sikap, perilaku dan cara berfikir (mindset) masyarakat tentang stunting, sehingga bisa menjadi teladan bagi sesama keluarga yang ada disekitar.

Keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (NTT) bersama segenap komponen masyarakat berkepentingan membangun keluarga NTT agar menjadi keluarga sejahtera, sehat, maju dan mandiri dengan ketahanan keluarga yang tinggi.

 

Komentar

Postingan Populer