Menolak Jadi Tamu di Tanah Sendiri


Studi Fenomenologi Tentang Strategi Coping Masyarakat Eks Timor Timur

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Lepasnya Provinsi Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999 menimbulkan gelombang pengungsian dalam jumlah yang sangat besar ke beberapa wilayah di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia. Pada kanyataannya, tidak semua warga yang mengungsi ke wilayah Indonesia terjadi atas kemauan sendiri. Banyak dari mereka yang mengungsi karena adanya tekanan dan paksaan dari pihak militer yang dibantu oleh para milisi sipil. Akibatnya, ketika berada dalam kemp pengungsian, terjadi begitu banyak pertikaian dan konflik, (Haba & Siburian, 2005). Permasalahan tersebut menjadi lebih kompleks karena jumlah populasi warga eks Timor-Timur yang besar dan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk memberikan bantuan pun terbatas.
Menurut data Sekertariat Satuan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT 2009, jumlah warga eks Timor-Timur pasca pengumuman hasil jajak pendapat tahun 1999 kurang lebih 250.000 jiwa. Besarnya jumlah warga eks Timor-Timur mengakibatkan pemerintah kesulitan mengatasi beragam persoalan. Salah satu masalah yang belum tuntas adalah menyangkut status kewarganegaraan. Ketidak-tuntasan persoalan ini memicu terjadinya aksi demonstrasi yang dilakukan warga eks Timor-Timur, yang menuntut pemerintah memberikan kepastian hukum tentang status mereka sebagai Warga Negara Indonesia, (Pos Kupang, 25 September 2017).
Persoalan lain yang membuat kondisi warga eks Timor-Timur cukup memprihatinkan adalah terjadinya penolakan dari kelompok masyarakat lokal yang menyebut diri sebagai ‘tuan tanah’ terhadap keberadaan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga SMERU Research Institute (2006), di daerah Noelbaki-Kabupaten Kupang menunjukkan bahwa masyarakat lokal menghendaki agar warga eks Timor-Timur segera pindah dari wilayah mereka. Masyarakat lokal menganggap kehadiran warga eks Timor-Timur hanya menambah beban hidup mereka yang juga miskin. Penolakan tersebut terjadi karena warga eks Timor-Timur menggunakan lahan masyarakat lokal dengan semena-mena dan tidak ada kompensasi apapun.
Fenomena adanya tekanan dan desakan oleh warga lokal yang menolak kehadiran warga eks Timor-Timur meninggalkan permasalahan psikologis dalam diri setiap warga karena mereka dianggap sebagai ‘tamu di tanah sendiri’. Persoalan ini juga dialami warga eks Timor-Timur yang berada di perbukitan Laktutus Desa Foheka Atambua-Belu NTT. Mereka merasa terpisahkan dari warga lokal dan dijajah di tanah sendiri. Ada jarak yang besar dengan warga asli yang sudah lama mendiami tanah tersebut. “Kami di sini (Foheka) dan mereka di sana (Fatumea) masih satu darah, satu leluhur, satu bahasa dan satu budaya. Namun politik dan kekerasan telah memisahkan kami” kata Paulinus Halek, tokoh masyarakat Desa Laktutus, ketika diwawancarai harian CNN Nasional-Indonesia pada Rabu, 17 Agustus 2016.
Meskipun terabaikan dan merasa seperti ‘tamu di tanah sendiri’, warga eks Timor-Timur tetap berjuang mengatasi masalah tersebut dan tidak meninggalkan Indonesia. Mereka konsisten dengan apa yang sudah dikatakan untuk tetap kontra pada kemerdekaan Timor Leste dan memilih Indonesia sebagai tempat mereka hidup. Oleh karena itu, menarik untuk ditelaah hal-hal apa saja yang dilakukan oleh warga eks Timor-Timur dalam menyikapi persoalan hidup yang dialami ketika memilih Indonesia sebagai ‘rumah’ mereka. Tentunya cara yang dipakai untuk mengatasi persoalan dari setiap warga eks Timor-Timur berbeda satu sama lain sesuai problematika yang dihadapi di tempat masing-masing.
Dalam ranah psikologi, cara mengatasi persoalan dinamakan ‘coping’ atau ‘coping behavior’, yakni segala perbuatan atau tindakan di mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, (Chaplin, 2009). Mengenai strategi coping, Stone & Naele (1994) menguraikan bahwa strategi coping merupakan cara yang dilakukan individu, baik secara tampak atau tidak tampak untuk mengetahui situasi yang menimbulkan tekanan, masalah atau tuntutan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Strategi coping dipandang sebagai proses dinamis dari suatu pola perilaku atau pikiran seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan dan tekanan dalam situasi yang menekan dan menegangkan.
Dalam konteks kehidupan warga eks Timor-Timur, strategi coping dapat dipahami sebagai usaha yang dilakukan oleh warga eks Timor-Timur dalam mengantisipasi serta menghadapi masalah, tantangan, tuntutan dan tekanan tertentu dalam hidupnya. Berdasarkan uraian fenomena di atas, peneliti hendak mencari dan menemukan strategi coping seperti apa yang dipakai warga eks Timor-Timur dalam menghadapi persoalan hidup yang dialami, khususnya persoalan mengenai status kewarganegaraan dan konflik internal dengan warga asli.

B.     Permasalahan
Dalam penelitian ini, peneliti hendak menemukan dan menjelaskan strategi coping berdasarkan perumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang mendasari munculnya persoalan status kewarganegaraan dan terjadinya penolakan dari warga asli terhadap keberadaan warga eks Timor-Timur?
2.      Untuk mengatasi permasalahan itu, maka strategi coping seperti apa yang dilakukan oleh warga eks Timor-Timur ketika dihadapkan pada realitas hidup yang kurang mendukung?

C.    Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui secara rinci melalui pendekatan interpersonal mengenai dasar dan sumber persoalan tentang status kewarganegaraan dan terjadinya penolakan dari warga asli terhadap keberadaan warga eks Timor-Timur.
2.      Untuk memahami strategi coping seperti apa yang dilakukan warga eks Timor-Timur dalam mengatasi permasalahan yang dialami.

D.    Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan konsep strategi coping dalam pengembangan kajian ilmu Psikologi secara umum maupun psikologi kelompok dan relasi sosial secara khusus. Disamping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang strategi coping dalam ruang lingkup dan setting yang berbeda.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman integral kepada seluruh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan masyarakat eks Timor-Timur pada khususnya, agar bisa saling belajar dari pengalaman masing-masing terkait strategi coping seperti apa yang mampu meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik. Selain itu, melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberi pemahaman yang cukup bagi pemerintah daerah maupun pusat agar dapat menyelesaikan berbagai kompleksitas persoalan hidup warga eks Timor-Timur yang belum terselesaikan, khususnya persoalan tentang status kewarganegaraan dan konflik internal dengan warga asli.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Strategi Coping
1.      Pengertian Coping
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006), coping adalah suatu proses di mana individu mencoba mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan diri mereka dalam memenuhi apa yang diharapkan. Menurut Taylor (2009), coping didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa coping merupakan segala usaha dan tindakan individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang muncul, mengurangi ketidak-sesuaian atau kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan dalam menyelesaikan persoalan tersebut.


2.      Pengertian Strategi Coping
Friedman (1998), mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman. Sedangkan Stone dan Nealle (1994), mengatakan strategi coping merupakan cara yang dilakukan individu baik secara nyata maupun tidak untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan.
Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, disimpulkan bahwa strategi coping merupakan usaha yang dilakukan seorang dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah hidup yang dijalani, baik secara nampak maupun tidak.

3.      Klasifikasi Strategi Coping
Menurut Santrock (2000), berdasarkan perilaku yang muncul, strategi coping dibedakan menjadi dua yakni strategi mendekat (approach strategy) dan strategi menghindar (avoidance strategy). Dalam strategi mendekat, individu cenderung melakukan suatu usaha untuk memahami sumber penyebab kecemasan dan berusaha mengatasi persoalan itu beserta konsekuensinya secara langsung. Sedangkan dalam strategi menghindar individu cenderung menyangkal atau meminimalisir sumber penyebab kecemasan secara kognitif, kemudian memunculkan usaha dalam bentuk tingkah laku guna meminimalkan sumber penyebab kecemasan tersebut.
Menurut Lazarus dan Folkman (1986), secara umum strategi coping dibagi dalam dua kategori utama yaitu :
a.       Problem Focused Coping (PFC)
Problem focused coping merupakan bentuk coping yang diarahkan pada upaya mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. Dalam arti bahwa coping yang muncul itu tefokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara dan keterampilan baru. Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan suatu hal terhadap kondisi stres yang mengancam individu.
b.      Emotion Focused Coping (EFC)
Emotion focused coping merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan perilaku seperti mencari dukungan dari orang lain, mengikuti berbagai aktivitas umum dan pendekatan kognitif seperti bagaimana individu berpikir dan mencari jalan keluar atas persoalan yang dialami.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menggunakan bentuk strategi coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Adapun alasannya yakni, bahwa kedua bentuk strategi ini dapat digunakan untuk menjelaskan coping yang hendak dilakukan warga eks Timor-Timur dalam mengatasi persoalan hidup yang dialami.

4.      Aspek-Aspek Strategi Coping
Carver dkk., (1989) mengemukakan beberapa aspek dalam strategi coping yang terbagi dalam kedua bentuk strategi coping yakni problem focused coping dan emotion focused coping.
A.    Aspek problem focused coping
§  Active Coping, merupakan proses pengambilan langkah-langkah aktif yang dilakukan individu untuk menghindari tekakan dan memperbaiki dampaknya. Dalam aspek ini, seorang individu menunjukkan beberapa hal seperti mengambil tindakan tambahan untuk menyingkirkan masalah, memusatkan upaya untuk melakukan sesuatu dan mengambil tindakan langsung untuk menanggulangi masalah.
§  Planning, yaitu individu memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dalam planning individu akan memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah. Dalam aspek ini seorang individu mencoba memikirkan strategi tertentu, membuat rencana aksi, berpikir keras tentang langkah apa yang harus diambil dan berpikir tentang bagaimana cara terbaik dalam menangani masalah.
§  Suppresion of competing. Individu menahan diri untuk tidak terlibat dalam aktifitas yang kompetitif atau menahan alur informasi yang bersifat kompetitif agar bisa berkonsentrasi penuh pada permasalahan yang dihadapi. Dalam aspek ini, individu mengesampingkan kegiatan lain supaya bisa berkonsentrasi pada masalahnya, fokus mengatasi masalah, menjaga diri agar tidak terganggu oleh pikiran atau kegiatan lain.
§  Restraint coping. Hampir sama dengan suppresion of sompeting tetapi restraint coping lebih pada menciptakan respons menahan diri yang dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan. Dalam aspek ini individu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu, individu tidak akan melakukan apa-apa sampai situasi mengijinkan. ia akan menahan diri dan tidak akan bertindak terlalu cepat dalam melakukan sesuatu supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
§  Seeking social support for instrumental reasons, adalah upaya untuk mencari dukungan sosial, seperti mencaari nasihat, informasi dan bimbingan dari orang-orang yang dianggap bisa memberi dukungan. Dalam aspek ini seorang individu melakukan beberapa hal seperti meminta orang-orang yang memiliki masalah serupa untuk menceritakan apa yang mereka lakukan, mencoba mendapatkan saran dari seseorang tentang apa yang harus dilakukan, berbicara dengan seseorang untuk mengetahui lebih lanjut tentang situasi tertentu dan berbicara dengan seseorang yang bisa melakukan sesuatu terkait masalah yang dihadapi.

  B.     Aspek emotion focused coping
§  Positive reinterpretation, yaitu mengadakan perubahan pengembangan pribadi dengan pengertian yang baru dan menumbuhkan kepercayaan akan makna kebenaran utama yang dibutuhkan dalam hidup.
§  Self acceptance, yaitu menerima keadaan yang terjadi dalam diri karena tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah keadaannya.
§  Denial, yakni upaya untuk mengingkari dan melupakan kejadian-kejadian yang dialami dengan menyangkal semua yang terjadi.
§  Back to the value, yaitu kembali kepada nilai atau ajaran agama atau usaha untuk melakukan dan meningkatkan ajaran keagamaan. Aspek ini meliputi tindakan berdoa dan memperbanyak ibadah untuk meminta bantuan pada Tuhan.

5.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Strategi coping yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Parker (1986), ketika seseorang melakukan strategi coping, ada tiga faktor utama yang dapat mempengaruhinya, yakni:
a.       Karakteristik Situasional
Dalam melakukan coping, seseorang akan melihat dan menilai situasi yang dihadapinya, apakah dapat dikontrol dan diinginkan atau tidak. Jika individu menilai suatu kejadian itu menantang, maka ia akan bertindak secara rasional, berpikir positif dan percaya diri dalam mengatasi permasalahannya. Namun, jika situasi dinilai mengancam maka ia akan mengacu pada kepercayaan atau agama yang dianut, berpikir tentang harapan dan keinginan yang dapat segera dipenuhi Tuhan.
b.      Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik dan psikososial yang berpengaruh pada perilaku dan emosi individu. Peran lingkungan seperti situasi rumah tangga atau tempat kerja akan mempengaruhi coping yang digunakan oleh seseorang. Bentuk perilaku menarik diri biasanya terjadi pada seseorang yang berasal dari keluarga yang kurang mendukung satu sama lain dan dari status sosial ekonomi yang rendah.
c.       Faktor personal atau perbedaan individu.
Perbedaan individu yang mempengaruhi strategi coping seseorang antara lain jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, persepsi terhadap stimulus yang dihadapi dan tingkat perkembangan kognitif individu. Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995) mengemukakan bahwa cara individu dalam memilih strategi coping dipengaruhi oleh kepribadian, tuntutan situasi, peran, penilaian kognitif, kebudayaan dan kesenangan pribadi. Berdasarkan beberapa teori di atas, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping antara lain faktor lingkungan baik itu lingkungan fisik maupun psikososial dan faktor kepribadian.

B.     Masyarakat Eks Timor-Timur
1.      Pengertian Warga Eks Timor-Timur
Pemahaman tentang warga eks Timor-Timur tidak terlepas dari status kewarganegaraan yang diemban pasca jajak pendapat. Dengan adanya kemerdekaan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), memberikan dampak besar khususnya terhadap status kewarganegaraan dari penduduk yang tidak mendukung kemerdekaan.
Warga eks Timor-Timur adalah mereka yang kontra terhadap kemerdekaan Timor Leste dan memilih untuk tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibat kekalahan dalam jajak pendapat pada 30 Agustus 1999, warga eks Timor-Timur harus mengungsi ke wilayah barat Indonesia, yakni ke beberapa daerah di Provinsi NTT. Warga eks Timor-Timur yang dimaksud adalah setiap orang yang terkena dampak referendum 1999 dan mengungsi ke wilayah administrasi Kabupaten Belu dan sekitarnya.
Kriteria warga eks Timor-Timur sebagaimana dijelaskan dalam KEPRES No. 25 Tahun 2003 tentang Pendataan Penduduk Bekas Provinsi Timor-Timur adalah sebagai berikut:
§  Dilahirkan di wilayah Provinsi Timor-Timur
§  Dilahirkan di luar wilayah Provinsi Timor-Timur tetapi salah satu orang tuanya lahir di wilayah Provinsi Timor-Timur
§  Menikah dengan orang yang lahir di wilayah Provinsi Timor-Timur
§  Menikah dengan orang yang lahir di luar wilayah Provinsi Timor-Timur, tetapi salah satu orang tua pasangannya lahir di wilayah Provinsi Timor-Timur
§  Bukan warga Provinsi Timor-Timur, tetapi dapat dikategorikan penduduk wilayah Provinsi Timor-Timur, jika bertempat tinggal terakhir sebelum menjadi pengungsi, yaitu telah tinggal dalam kurun waktu 5 tahun sebelum waktu diumumkannya hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat maupun pemerintah mengenal terminologi ‘Warga Baru’ yang merujuk pada kriteria warga eks Timor-Timur. Hal ini didasarkan pada pengumuman dari Pemerintah Indonesia tentang berakhirnya status ‘pengungsi’ pada tanggal 31 Desember 2002. Demikian pula badan PBB untuk urusan pengungsi (United Nations High Commission on Refugees/UNHCR), mendeklarasikan cessation of status (penghapusan status) pengungsi Timor Timur yang ada di Indonesia pada 22 Desember 2002. Sejak saat itu, mereka tidak lagi diperlakukan sebagai pengungsi dan tidak lagi mendapat hak-hak pengungsi sesuai konvensi internasional.

2.      Permasalahan Kehidupan Warga Eks Timor-Timur
Penanganan masalah warga eks Timor-Timur di NTT sejak tahun 1999 sampai sekarang belum menyelesaikan seluruh persoalan pokok yang dihadapi. Masih banyak warga yang belum mendapat perhatian dari pemerintah. Meskipun kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan sudah diberikan, namun kondisinya tidak memadai. Pemberian bantuan kemanusiaan dari pemerintah kadang tidak tepat sasar. Persoalan kemiskinan, kesulitan mendapat pekerjaan, dan keputusasaan terhadap janji pemerintah mengenai status kewarganegaraan yang tidak terealisasikan merupakan permasalahan eksternal dari warga eks Timor-Timur, (Tempo 11 Januari 2011)
Disamping itu, masalah lain yang dihadapi secara internal oleh warga eks Timor-Timur adalah tentang kesejahteraan psikologis yang belum tercapai, seperti putus asa dan stres akibat penolakan oleh warga asli yang menganggap mereka sebagai warga baru. Penolakan ini membuat mereka merasa tidak diterima di tanah sendiri. Akibatnya, banyak warga yang memilih kembali ke daerah asalnya di Timor Leste. (Tempo, 12 Januari 2012).

C.    Kerangka Penelitian
Hampir 19 tahun warga eks Timor-Timur hidup di Indonesia. Banyak dari mereka yang sudah mengalami perubahan dalam hidup. Semua itu terjadi karena adanya dukungan pemerintah dan kerja sama masyarakat dalam mengatasi beragam persoalan kemanusiaan yang dialami. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak persoalan yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. Kesulitan mendapat status sebagai WNI merupakan persoalan utama yang sampai saat ini masih membelenggu warga eks Timor-Timur di berbagai daerah. Selain itu, diskriminasi dan penolakan terhadap keberadaan warga eks Timor-Timur juga masih menjalar sampai saat ini sehingga mengakibatkan sering terjadi konflik dengan warga asli.
Warga eks Timor-Timur telah berupaya dengan berbagai cara agar persoalan yang dihadapi bisa teratasi. Salah satunya adalah dengan menyampaikan aspirasi mereka dalam diskusi dengan pemerintah melalui organisasi perhimpunan warga eks Timor-Timur - Uni Timor Aswa’in (UNTAS). Ketua umum UNTAS, Eurico Guteres, mengatakan bahwa persoalan warga eks Timor-Timur harus diselesaikan sampai tuntas agar tidak menjadi beban sejarah. Kepastian status kewarganegaraan harus diprioritaskan pemerintah supaya kehidupan warga eks Timor-Timur memiliki harapan dan tujuan yang pasti. (KOMPAS, Rabu, 12 Oktober 2016)
Demikian juga Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan bahwa dengan merujuk pada TAP MPR No.V/MPR/1999, tentang jajak pendapat di Timor-Timur yang masih berlaku dengan sejumlah ketentuan, maka warga eks Timor-Timur sebenarnya masih berada dalam landasan hukum yang jelas. Karena itu, pemerintah masih memiliki tugas penting untuk mensejahterakan kehidupan mereka. Pemerintah juga perlu mendidik warga asli supaya bisa bersikap toleran dan bersedia menerima dengan terbuka keberadaan warga eks Timor-Timur, karena mereka juga adalah sesama saudara. “Kita patut menerima mereka karena kesediaan untuk tetap memilih Indonesia merupakan bukti kesetiaan dan konsistensi atas apa yang sudah mereka jalani. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari kita”. (Surat Kabar Online, GORIAU Selasa, 31 Januari 2017)
Persoalan dan tantangan hidup yang berat membuat banyak warga eks Timor-Timur mengalami stres, putus asa dan cemas akan masa depan. Akibatnya, tidak sedikit warga eks Timor-Timur memilih kembali ke tanah kelahiran karena merasa tidak diterima di tanah sendiri. Akan tetapi, meskipun mendapat tekanan dan penolakan, masih banyak juga warga eks Timor-Timur yang memilih tetap tinggal di Indonesia. Apapun resiko dan tantangan hidup yang dialami, mereka tetap bertahan di Indonesia. Dari fenomena ini, muncul pertanyaan, apa yang biasa dilakukan warga eks Timor-Timur dalam menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang dialami?
Pertanyaan di atas sebenarnya mau menjelaskan dasar pemahaman tentang bagaimana seseorang berhadapan dengan stressor hidupnya. Dalam ilmu psikologi, konsep ini dikenal sebagai strategi coping. Dalam konteks penelitian ini, strategi coping warga eks Timor-Timur diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh warga eks Timor-Timur dalam menghadapi stressor hidupnya, yakni menyangkut status kewarganegaraan dan fenomena penolakan atas diri mereka sebagai warga baru.
Strategi coping yang dilakukan warga eks Timor-Timur tidak terlepas dari pergolakan pribadi secara internal maupun persoalan eksternal. Di satu sisi, warga eks Timor-Timur adalah warga pendatang baru yang mendiami suatu tempat tertentu. Namun, di sisi lain mereka juga adalah Warga Negara Indonesia asli yang memilih untuk tidak mendukung kemerdekaan Timor Leste. Karena itu, mereka juga memiliki hak yang sama dalam undang-undang untuk mendapat keadilan sosial dan kesejahteraan hidup. Namun dalam kenyataannya, mereka justru tidak mendapat keadilan secara merata bahkan mereka ditindas dan ditolak.
Dari realita ini, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh apa saja yang dilakukan warga eks Timor-Timur sebagai bagaian dari strategi coping-nya dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, khususnya mengenai kepastian status kewarganegaraan dan penolakan dari warga asli. Strategi coping warga eks Timor-Timur bisa dilihat dari dua bentuk yakni, probem focused coping dan emotion focused coping.
Ketika warga eks Timor-Timur memilih problem focused coping, maka kecenderungan yang diakukan adalah mencari dan menghadapi hal-hal yang dianggap sebagai sumber masalah atau tekanan dengan meminta bantuan dari luar dirinya supaya masalah yang dihadapi berkurang. Dari sini, jelaslah bahwa coping yang akan dilakukan warga eks Timor-Timur ketika belum mendapat status sebagai WNI adalah dengan meminta bantuan pemerintah untuk memberikan status tersebut secepatnya agar segala urusan lain bisa terlaksana.
Sedangkan jika yang dilakukan adalah emotion focused coping, maka kecenderungan perilaku warga eks Timor-Timur adalah mengatur respon emosional mereka dengan pendekatan perilaku seperti, mengikuti berbagai aktivitas bersama dan pendekatan kognitif seperti bagaimana individu berpikir dan mencari jalan keluar atas persoalan yang dialami melalui dialog. Misalnya, ketika ada konflik dengan warga asli, maka warga eks Timor-Timur akan memilih berdialog secara adat budaya setempat agar konflik tersebut dapat terselesaikan, (Antony Lee, dkk, Artikel Kompas 26 April 2017).
 

BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Pada hakekatnya, semua penelitian kualitatif menggunakan pendekatan fenomenologi. Artinya, peneliti menuju ke lapangan dan mengamati fenomena yang terjadi secara alamiah. Namun yang membedakan masing-masing jenis penelitian adalah fokus penelitian, apakah terfokus pada budaya, fenomena, kasus dan sebagainya (Denzin dan Lincoln 2009).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomenologi dengan fokus utama pada studi kasus. Studi kasus merupakan tipe pendekatan penelitian kualitatif dengan menelaah suatu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, detail dan komprehensif. Pendekatan studi kasus pada hakekatnya terfokus pada ‘case’ atau kasus yang khas, unik, khusus, isu-isu yang sedang berkembang, alamiah dan holistik, (Denzin, 2009). Permasalahan utama yang diteliti adalah cara bertahan atau strategi coping yang digunakan warga eks Timor-Timur dalam mengatasi persoalan status kewarganegaraan dan penolakan warga asli terhadap keberadaan mereka.

B.     Peran Peneliti
Karena Peneliti dianggap sebagai instrumen primer dalam pengumpulan data kualitatif, maka dibagian awal penelitian diperlukan adanya identifikasi terhadap nilai, asumsi dan bias personal dari peneliti, Creswell (2016). Persepsi peneliti terhadap dinamika kehidupan warga eks Timor-Timur diperoleh dari pengalaman pribadi peneliti, karena peneliti pernah hidup dan tinggal di lingkungan yang sama. Selain itu, peneliti juga menemukan banyak fenomena persoalan kehidupan warga eks Timor-Timur dari berbagai berita yang ada di surat kabar harian maupun media elektronik. Strategi memecahkan persoalan yang dilakukan warga eks Timor-Timur inilah yang kemudian dijadikan fokus penelitian.

C.    Batasan Penelitian
1.      Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada warga eks Timor-Timur yang bermukim di Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang dan di daerah Perbatasan RI-TLS, khususnya Desa Foheka Kecamatan Laktutus, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Alasan pemilihan lokasi ini karena di desa Noelbaki terdapat persoalan status kewarganegaraan dan di desa Foheka terjadi penolakan terhadap warga eks Timor-Timur.
2.      Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 5 bulan (Maret-Juli 2018), dengan rincian sebagai berikut :
·         Bulan Maret          : Persiapan & Perencanaan Penelitian
·         Bulan April           : Pelaksanaan Tahap I
·         Bulan Mei             : Pelaksanaan Tahap II
·         Bulan Juni             : Pengolahan Data
·         Bulan Juli              : Penyusunan Laporan Hasil Penelitian
3.      Partisipan Penelitian
Menurut Poerwandari (1998), prosedur pemilihan subjek dalam penelitian kualitatif pada umumnya mengikuti aturan, antara lain :
·         Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar.
·         Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam jumlah maupun karakteristik sampel sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam proses penelitian.
·         Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Berdasarkan kaidah di atas, subjek dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah yang kecil sesuai dengan konteks penelitian, yakni mengenai strategi coping warga eks Timor-Timur di dua Desa. Adapun rencana jumlah keseluruhan subjek atau informan dalam penelitian ini sebanyak 10 orang, dengan rincian 5 orang dari desa Noelbaki dan 5 orang dari desa Foheka.

D.    Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, metode pengumpulan data antara lain, wawancara, observasi dan dokumentasi (Herdiansyah, 2010). Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara.
1.      Obeservasi
Metode observasi terlaksana ketika peneliti turun langsung ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu di lokasi penelitian. Dalam observasi, peneliti merekam dan mencatat dengan rinci semua aktivitas yang terjadi dilokasi penelitian. Dalam penelitian ini peneliti akan mengobservasi perilaku dan aktivitas warga asli dan warga eks Timor-Timur. Observasi akan dilakukan setiap hari selama 2 jam.
2.      Wawancara
Wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data yang pelaksanaannya bisa dilakukan secara langsung dengan orang yang diwawancarai dan secara tidak langsung seperti melalui telepon, internet, atau surat. Denzin dan Lincoln (2009) menguraikan bahwa dalam penelitian kalitatif terdapat dua jenis wawancara yakni wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur. Wawancara terstruktur mengacu pada situsasi ketika seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap responden berdasarkan kategori jawaban tertentu. Sedangkan wawancara tak terstruktur memberikan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan tipe-tipe wawancara yang lain.
Selain kedua bentuk wawancara di atas, dalam berbagai penelitian juga dikenal bentuk wawancara semi terstruktur. Bentuk wawancara semi terstruktur sering disebut dengan wawancara bebas terpimpin. Bebas, artinya wawancara dilakukan melalui kewajaran yang maksimal sehingga dapat diperoleh data yang mendalam. Terpimpin artinya memiliki arah yang jelas sehingga dapat dipertahankan reliabilitasnya, (Purnamasari, 2011). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan bentuk wawancara semi terstruktur. Pertanyaan yang disiapkan dalam panduan wawancara tidak bersifat kaku dan terbatas. Dalam prakteknya, pertanyaan lain bisa saja muncul, namun tetap sesuai dengan topik dan tujuan penelitian.
E.     Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif. Informasi yang dikumpulkan di lapangan digunakan untuk membuat simpulan akhir dan bukan untuk membuktikan hipotesis. Oleh karenanya, peneliti harus menggali informasi selengkap mungkin. Proses analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Artinya, analisis harus sudah dilakukan sejak awal. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan mulai sejak sebelum memasuki lapangan, selama berada di lapangan dan setelah selesai di lapangan.
Miles and Huberman, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/ verification).
Selama melakukan penelitian di palangan, peneliti menggunakan model Spradley, yaitu tehnik analisa data yang di sesuaikan dengan tahapan dalam penelitian.
1.      Pada tahap memasuki lapangan, peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data dengan memilih situasi sosial dari masyarakat eks Timor-Timur yang akan diteliti (place, actor and activity). Kemudian, peneliti menetapkan seseorang informan kunci atau key informant yang berwibawa dan dipercaya mampu membawa peneliti memasuki obyek penelitian. Informan kunci bisa dari ketua adat setempat atau kepala suku dari warga asli dan masyarakat eks Timor-Timur.
2.      Setelah memasuki objek penelitian di lapangan, peneliti melaksanakan observasi partisipan dan mencatat hasinya. Setelah itu, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa masyarakat eks Timor-Timur dan informan kunci, sembari mencatat hasil wawancara. Selanjutnya, peneliti melakukan analisis terhadap hasil wawancara. Berdasarkan hasil analisis wawancara tersebut, peneliti kemudian melakukan analisis domain, yakni menganalisis persoalan umum yang terjadi di permukaan secara utuh sebagai langkah awal dalam penelitian.
3.      Pada tahap selanjutnya, peneliti menentukan fokus analisa data yang dilakukan dengan analisis taksonomi, yakni berupaya memahami domain-domain yang dipilih tadi sesuai fokus permasalahan atau sasaran penelitian. Aktivitas analisis ini adalah mencari bagaimana domain yang dipilih tadi dijabarkan menjadi lebih rinci dalam kesamaannya.
4.      Selanjutnya, peneliti mencari perbedaan yang spesifik dari domain tersebut atau seleksi setiap rincian yang dihasilkan dari analisis taksonomi dengan menggunakan analisis komponensial.
5.      Yang terakhir, peneliti mencari hubungan di antara domain dengan hasil yang spesifik dari analisis komponensial secara keseluruhan sampai merumuskan inti penelitian. Berdasarkan temuan tersebut, selanjutnya peneliti menuliskan laporan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Belu Tahun (2012).
Bowman, G. D., & Stern, M. (1995). Adjustment to Occupational Stress: The Relationship of Perceived Control to Effectiveness of Coping Strategies. Journal of Counseling Psychology. Vol. 60, p. 294-303.
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Meintraub, J.K. (1989). Assessing Coping Strategies: Theorically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, No.2, p.267-283.
Chaplin, J. (2009). Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan. Jakarta: Rajawali Pers.
CNN Nasional Indonesia pada Kamis, 17 Agustus 2016. Derita Warga Nusa Tenggara di Tapal Batas: Kami Bagai Dijajah. diakses pada Senin, 13 November 2017, pukul 09:15 WIB. Sumber: http://m.cnnindonesia.com.
Denzim, N. K., & Lincoln Y. S. (2009). Hand Book of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedman, M.M. (1998). Keperawatan Keluarga, Teori dan Praktek. Edisi 3. Jakarta: EGC
Haba, J, & R. Siburian. (2005). Pengungsi Timor-Timur: Permasalahan Dan Solusinya. Jakarta: LIPI.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Keputusan Presiden (KEPRES) No. 25 Tahun 2003 tentang Pendataan Penduduk Bekas Provinsi Timor-Timur.
Lazarus, S., & Folkman, R.S. (1986). Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer.
Lee, Antony., Nustrat, M., Anggoro, P., Kustiasih, R. (2017). Mereka yang Kalah dan Tercabut dari Akar. Artikel Kompas 26 April 2017, diakses pada Senin, 13 November 2017, pukul 08.15 WIB. Sumber: https://pressreader.com.
Lembaga SMERU Research Institute (2006). Sumber: http://oceannaz.wordpress.com, diakses pada Rabu, 15 November 2017, pukul 18:22 WIB.
Parker, K. R. (1986). Coping in Stressful Episodes: The Role of Individual Differences, Enviorment Factor and Situational Characteristic. Journal of Personality dan Social Psychology. Vol. 51, No. 6, p. 1277-1292.
Purnamasari, S. E. (2011). Panduan Wawancara. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana.
Salam, A. (2006). Teori dan paradigma penelitian sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Santrock, J.W. (2000). Life Span Development. (7th Ed.). USA: McGraw Hill College.
Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology, Biopsychosocial Interactions, 4rd  Ed. USA: Jhon Wiley & Sons.
Satuan Koordinasi dan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur 2001.
Smith, J. A. (2009). Psikologi kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stone, A.A., & Neale, J.M. (1994). New Measure of Daily Coping: Development and Preliminary Results. Journal of Applied Psychology.Vol. 46. 4. p. 892-906.
Surat Kabar Harian KOMPAS, Rabu, 12 Oktober 2016 : Bertemu Wiranto, Erico Guterres Bahas Permasalahan Warga Eks Timor Timur di Indonesia. diakses pada Sabtu, 11 November 2017, pukul 11:35 WIB. Sumber: http://nasional.kompas.com.
Surat Kabar Harian POS KUPANG, 25 September 2017: Tidak Main-Main. Ini Tuntutan Warga Eks Timor-Timur saat Demo di Kantor Gubernur. diakses pada Minggu, 18 November 2017, pukul 21.45 WIB. Sumber: https://kupang.tribunnews.com.
Surat Kabar Online GORIAU, Kamis, 31 Januari 2017: Zulkifli Hasan: Masalah Warga Eks Timor-Timur di NTT Jangan Sampai Menjadi Beban Sejarah. diakses pada Selasa, 14 November 2017, pukul 15.27 WIB. Sumber: https://m.goriau.com.
Taylor, S. E., Peplau L.A & Sears, D, O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
TAP MPR No.V/MPR/1999, Tentang Jajak Pendapat di Timor-Timur.
Wulyandari, G. (2009), Masalah Di Perbatasan Timor Leste, Jakarta: Pustaka Pelajar

Komentar

Postingan Populer