Orientasi Kebahagiaan Dalam Perspektif Psikologi Positif
Eduardus Johanes Sahagun*
Abstrak
Artikel
ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis secara mendalam tentang makna orientasi kebahagiaan dalam diri
individu yang di kemukakan oleh Martin E. P. Seligman. Kebahagiaan merupakan
konsep yang menggambarkan kondisi inidividu ketika mengarahkan perasaannya pada
hal-hal positif dan memanfaatkan karakter positif yang dimiliki untuk memaknai
berbagai peristiwa yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan
analisis fenomenologi dengan metode studi dokumen dipakai dalam penulisan
artikel ini.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1998, Martin
Seligman yang merupakan Psikolog dari University of Pennsylvania yang saat itu
menjabat sebagai Presiden APA (American
Psychological Association) mendorong bidang Psikologi untuk mulai fokus
dalam memahami dan membangun kekuatan individu guna melengkapi situasi yang
selama itu menekankan penyembuhan (Lambert, 2007). Karena
itu, dibentuklah kajian Psikologi yang secara khusus melihat hal-hal positif
dari manusia. Tujuan Psikologi Positif adalah mendorong
perubahan dalam psikologi yang selama ini hanya asyik untuk memperbaiki hal-hal
yang buruk dalam kehidupan individu, tetapi lupa akan hal-hal positif dalam
diri individu yang sebenarnya membangun kualitas kepribadian.
Psikologi
Positif adalah sebuah gerakan baru dalam ilmu psikologi yang lebih menekankan
pada eksplorasi potensi-potensi produktif dalam diri manusia. Berbeda dengan
Behaviorisme dan Psikoanalisis yang cenderung pesimis melihat pribadi manusia.
Kedua mazhab psikologi yang sampai sekarang masih dominan ini terlalu berburuk
sangka pada manusia. Paradigma keilmuan yang dibangunnya terlalu bersifat
klinis dan kosekuensinya, tugas ilmu psikologi hanya memahami gangguan-gangguan
mental yang diderita manusia, bukan berusaha membantu manusia untuk
mengembangkan kemampuannya secara optimal. Menurut Seligman, kedua mazhab ini
telah mewariskan ilmu psikologi yang bersifat patogenis.
Jika
psikologi patogenis sibuk mempelajari kelemahan dan kerentanan manusia kemudian
berusaha memperbaikinya, psikologi positif memusatkan perhatian pada kelebihan
dan kekuatan manusia. Alih-alih berusaha memperbaiki apa yang rusak dalam diri
manusia, psikologi positif mencoba membangun hidup di atas apa yang terbaik dari
diri manusia. Psikologi positif mengidentifikasi kekuatan dalam diri manusia
untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan. Bukan hanya terhindar dari penyakit,
tetapi juga hidup bahagia. Bukan hanya sekedar hidup (living), tetapi juga bagaimana mengembangkannya (thriving).
Kebahagiaan adalah sesuatu yang didambakan
oleh semua orang. Betapa tidak, semua hal yang dilakukan manusia pada dasarnya
berorientasi pada satu tujuan yakni, mencapai hidup bahagia. Konsep kebahagiaan
termasuk dalam ranah kajian ilmu psikologi positif. Definisi kebahagiaan agak
sulit diartikan secara tepat karena cakupannya sangat luas (Tkach &
Lyubomirsky, 2006). Walau demikian, Kebahagiaan masih bisa didefinisikan
berdasarkan beberapa aspek tertentu. Menurut Peterson, dkk (2005), kosep kebahagiaan dapat diartikan lewat tiga aspek yakni pleasure (kesenangan), meaning (keberartian) dan
engagement (keterikatan). Orientasi kebahagiaan merupakan
preferensi (kemungkinan/selera/alternatif) seseorang untuk mencapai
kebahagiaan.
Orang
yang berorientasi hanya pada pleasure
akan fokus pada mencari kesenangan. Bagi mereka, kebahagiaan adalah mencapai
kesenangan atau kenikmatan. Aspek meaning
atau kebermaknaan menunjukkan kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu
karena hal yang dilakukan itu bermakna dan berarti bagi dirinya. Kebahagiaan
bagi mereka adalah ketika mereka melakukan sesuatu yang bermakna dan berarti
dalam hidup. Sedangkan orientasi terhadap aspek engagement atau keterhanyutan, akan fokus pada melibatkan diri
dalam aktivitas yang sesuai dengan minat dan kompetensi. Bagi mereka,
kebahagiaan adalah menikmati dan hanyut dalam suatu aktivitas dengan
keterlibatan penuh dalam aktivitas itu.
Raibley J.R (2012), memberikan cara untuk
mengetahui kebahagiaan seseorang dengan mengajukan pertanyaan ‘why’ pada apa saja yang diperoleh dan
dialami untuk mendapat tolak ukur kebahagiaan, seperti mengapa seorang ingin
kaya? mengapa seorang ingin terkenal? dan sebagainya. Jika diteruskan lagi
dengan pertanyaan alasan apa yang mendasari semua itu, tentu jawabannya akan
kembali bermuara pada tujuan utama hidup seseorang yaki kebahagiaan. Semua
tolak ukur, baik kekayaan material, popularitas, kepuasan spiritual maupun emosional
hanya akan bermuara pada satu kata yakni, kebahagiaan. Kebahagiaan adalah
keadaan emosi pisitif yang dirasakan secara subyektif oleh seseorang (Snyder
& Lopez, 2006). Penelitian
tentang kebahagiaan sangat penting dilakukan, karena kebahagiaan merupakan
cita-cita tertinggi yang selalu ingin dicapai oleh semua manusia dalam setiap tindakannya (Everill, 2000).
Pembahasan
1. Pengertian Kebahagiaan
Kebahagiaan merupakan istilah umum untuk
menggambarkan tujuan dari keseluruhan hidup manusia yang termaktub dalam ruang
lingkup psikologi positif.
(Seligman, 2005). Fave, dkk (2010), menyatakan bahwa banyak ahli
psikologi positif yang masih menghadapi tantangan mendasar untuk menemukan
kesepakatan pada terminologi kebahagiaan yang disebabkan definisi kebahagiaan
yang berasal dari tradisi filosofis belum dapat diuji secara valid karena
kurangnya jumlah studi dan sampel yang sedikit. Selain itu, terdapat ambigu
terminologi kebahagiaan yang memiliki makna ganda dan sebagian besar alat ukur kebahagiaan
adalah berupa skala psikologis.
Mc Arthur (dalam Keyes and Maghar-Moe, 2004) menjelaskan
secara umum bahwa kebahagiaan adalah adanya perasaan dan pengalaman yang
menyenangkan (pleasure), memuaskan
dan adanya kegembiraan (joy). Heygen
(1992), mengartikan kebahagiaan sebagai perasaan atau pengalaman subjektif yang
menyenangkan dan berkaitan dengan perasaan puas akan kehidupan dirinya secara
keseluruhan. Wicham (2008), kebahagiaan berkaitan dengan kegembiraan dalam
diri, gabungan dari kesejahteraan fisik, mental, emosional dan spiritual.
Beberapa istilah
yang bisa dikatakan mirip dengan kebahagiaan antara lain kepuasan hidup (life satisfaction), kesejahteraan (well-being) dan kualitas hidup, (Bekhet,
Zauszniewski & Nakhala 2008). Selain itu, kebahagiaan
juga dikonseptualisasikan sebagai pengalaman batin yang positif, kesejahteraan
tertinggi dan motivator utama bagi semua perilaku manusia. Kebahagiaan menurut Harris (2008) memiliki dua arti
yakni pertama, kata kebahagiaan dapat
mengacu pada suatu perasaan gembira, senang atau puas dan kedua, kebahagiaan adalah hidup yang penuh kegembiraan dan
bermakna. Kehidupan yang baik tentu lebih dari pada sekedar kehidupan yang
menyenangkan. Seligman (2005) menegaskan untuk mewujudkan kebahagiaan, seorang
harus memiliki perasaan positif melalui emosi yang positif, merasa senang pada
masa sekarang, dan memiliki sikap yang optimis terhadap masa depan untuk
mencapai kebahagiaan yang sejati (authentic)
dengan memanfaatkan kekuatan karakter yang ada pada diri seseorang dalam
aktivitas pekerjaan, cinta dan kepengasuhan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa kebahagiaan merupakan suatu konsep yang menggambarkan kondisi
individu ketika mengarahkan perasaannya pada sesuatu yang positif dan
memanfaatkan karakter positif yang dimiliki untuk memaknai peristiwa yang
dijalani dalam kehidupan sehari-hari.
2. Prinsip Umum Kebahagiaan
Prinsip umum kebahagiaan dalam ilmu psikologi
positif sangat beragam. Hal ini karena setiap pendekatan psikologi dalam
memahami manusia sangat tergantung pada pijakan dasar filosofisnya, (Riyono,
2011). Pandangan Psikoanalisis yang dikemukakan Sigmund Freud, mengartikan
kebahagiaan dengan dilihat dari persepektif pleasure
principle (prinsip kesenangan). Prinsip kesenangan ini menjadi sumber
energi yang tersembunyi pada bagian terbesar ketidaksadaran manusia. Bila
seorang gagal memenuhi prinsip ini maka dia akan menggunakan mekanisme
pertahanan diri.
Lain lagi dalam pandangan aliran Behaviorisme oleh
B.F Skiner. Ia memberi arti bagi istilah pleasure
principle dengan reinforcement (penguatan). Prinsip penguatan menyatakan bahwa
setiap perilaku manusia sangat ditentukan oleh hubungan stimulus-respon dari
lingkungan dan bukan dari dalam dirinya. Skiner menyebut juga bahwa pikiran dan
emosi memang ada namun hal tersebut bukan merupakan penyebab timbulnya suatu
perilaku melainkan dibentuk oleh peristiwa dari lingkungan. Bagi Skiner,
Kebahagiaan berasal dari luar diri seseorang yang diperoleh dari hubungannya
dengan lingkungan.
Disamping itu, pandangan psikologi Humanistik oleh
Abraham Maslow, tidak menjelaskan secara rinci tentang pemuasan kebutuhan dan
kebahagiaan manusia. Namun dari teorinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa,
kehidupan yang baik atau hidup bahagia sangat ditentukan oleh pemenuhan
kebutuhan. Semua kebutuhan yang sudah terpenuhi akan memberikan kebahagiaan
tersendiri bagi individu. Untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi
diperlukan kondisi lingkungan yang baik.
Sedangkan, pandangan psikologi positif yang
dikemukakan Martin Seligman (2005), menegaskan bahwa kehidupan yang baik,
bahagia dan bermakna terletak pada dua pilar utama yakni emosi positif dan karakter
positif. Emosi positif yang dirasakan individu dapat membantunya memaknai
hidup. Ada tiga jenis emosi positif yakni pertama,
emosi positif terhadap masa lalu, yaitu perasaan positif yang mencakup
besarnya kepuasan, pemenuhan kesuksesan dan kelegaan. Perasaan positif tentang
masa lalu ini sepenuhnya ditentukan oleh pemikiran dan persepsi individu atas
peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya. Kedua,
emosi positif di masa sekarang, yaitu perasaan yang menyangkut kenikmatan dan gratifikasi.
Kenikmatan adalah kesenangan yang melibatkan komponen indrawi yang jelas dan
komponen emosi yang kuat. Sedangkan gratifikasi berasa dari kegiatan yang
sangat disukai dan membuat individu terlibat sepenuhnya dalam kegiatan yang
dilakukannya. Ketiga, emosi positif
di masa depan, yakni perasaan yang menyangkut keyakinan, optimisme, kepercayaan
dan harapan di masa yang akan datang. Memiliki harapan akan masa depan dapat
memberikan daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi stres dan depresi ketika
ada masalah.
Beberapa prinsip dasar yang sudah disebutkan oleh
beberapa pendekatan dalam keilmuan psikologi dan para ahli di atas, menunjukkan
bahwa setiap pendekatan memiliki cara pandang sendiri untuk memberikan jawaban
secara universal mengenai esensi kebahagiaan yang dialami manusia, karena salah
satu kekuatan manusia adalah kebahagiaan.
3. Faktor Yang Mempengaruhi
Kebahagiaan
§ Budaya
Teriandis (dalam Carr, 2004), mengataka bahwa
faktor budaya dan sosial-politik dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang.
Hasil penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi
yang sehat dan stabil lebih bahagia dari pada suasana pemerintah yang penuh
konflik. Budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih
tinggi. Kebahagiaan akan jauh lebih tinggi dari kebudayaan yang individualistis
jika dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis.
§ Kehidupan
Sosial
Penelitian
yang dilakukan oleh Seligman (2005), menjelaskan hampir semua orang dari 10%
orang yang bahagia terlibat dalam hibungan yang romantis dengan orang lain.
Orang yang sangat bahagia akan menjalani kehidupan sosialnya dengan baik.
Kebahagiaan diperoleh dari membangun relasi yang baik dalam kebersamaan dengan
orang lain.
§ Religiositas
atau Agama
Orang
yang sikap religiusnya tinggi akan lebih bahagia dan lebih puas terhadap
kehidupan dari pada orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Hal tersebut
disebabkan karena agama selalu memberikan harapan akan masa depan dan
menciptakan makna dalam hidup manusia. Selain itu, keterlibatan seseorang dalam
kegiatan keagamaan dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut
sehingga ia pun memperoleh bahagia.
§ Pernikahan
Carr
(2004), mengatakan bahwa pernikahan erat hubungannya dengan kebahagiaan. Orang
yang bahagia lebih atraktif sebagai pasangan dari pada orang yang tidak
bahagia. Pernikahan memberikan banyak kepuasan dan keuntungan yang dapat
membahagiakan seseorang seperti, keintiman psikologis dan fisik, seksualitas,
memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua dan
saling menguatkan identitas masing-masing pasangan.
§ Usia
Penelitian yang dilakukan Synder & Lopez
(2007), mengungkapkan orang yang muda atau kemudaan sebenarnya
menggambarkan keadaan orang yang bahagia. Dalam bahasa yang sederhana, berjiwa
muda atau memiliki semangat muda bagi siapa saja mencerminkan bahwa orang
tersebut bahagia.
4.
KESIMPULAN
Kebahagiaan
meliputi keyakinan bahwa seseorang akan mendapatkan hal-hal penting dan
menyenangkan baginya. Oleh karena itu, kebahagiaan diartikan sebagai pengalaman
batin yang positif, kesejahteraan tertinggi dan motivator utama bagi semua
perilaku manusia, (Lu, Gilmour & Kao, 2001). Kebahagiaan tentunya lebih
dari sekadar pencapaian tujuan hidup, karena pada realitas
yang terjadi, kebahagiaan selalu dihubungkan dengan kesehatan yang baik,
kreativitas yang tinggi, memiliki tempat kerja yang menyenagkan dan memiliki
pendapatan yang besar. Oleh karenanya, kebahagiaan dapat dimaknai sebagai
adanya perasaan dan emosi positif, seperti perasaan senang dan pikiran yang
mengarah pada kepuasan hidup, (Diner & Biswas, 2008). Kebahagiaan adalah
emosi positif yang bersifat subyektif dan sangat bergantung pada suasana hati
masing-masing individu. Selain itu pula, kebahagiaan juga bisa dikaitkan dengan
menjalankan tugas dan tanggung jawab secara spontan dan ikhlas.
Neuroscience
dan positive psychology (psikologi
positif) adalah dua cabang ilmu yang paling sering meneliti dan mengembangkan
ilmu kebahagiaan selama lebih dari dua dekade terakhir ini. Bahkan, quantum physics juga dilibatkan untuk
lebih menjelaskan apa itu kebahagiaan. Martin Seligman yang kini dikenal
sebagai pakar neuro-sains yang
pertama mengenalkan dan mengembangkan psikologi positif telah memberikan
definisi sendiri tentang apa itu kebahagiaan. Menurut Martin Seligman ada tiga
komponen yang membentuk kebahagiaan, yaitu pleasure, engagement, dan meaning.
1. Pleasure
Rasa senang sering
diungkapkan dengan menggunakan kata “bahagia.” Itu tak salah, karena rasa
senang menghasilkan emosi positif yang membentuk kebahagiaan. Elemen pertama
dari kebahagiaan ini disebut hedonis,
karena kebanyakan orang terjebak untuk mengejar rasa senang ini yang disangka
adalah seluruh elemen kebahagiaan.
2. Engagement
Hasil atau pencapaian
sebuah tujuan yang kita tentukan akan menghasilkan kepuasan yang pada akhirnya
menghasilkan kebahagiaan. Karena itu engagement
membutuhkan komitmen yang serius, kecerdasan, kreativitas, hubungan sosial,
disiplin, dan lain-lain. Engagement
mungkin sebuah proses yang keras dan menyakitkan, namun seluruh proses itu akan
disebut gratifying atau memuaskan yang dapat dinikmati. Contoh dari sebuah
proses engagement adalah seorang yang
menjalani olahraga maraton berjam-jam dan berkilo-kilo meter. Contoh lainnya
adalah para pendaki gunung yang gemar mendaki sangat tinggi seperti Everest.
3. Meaning
Memberi arti bagi hidup
adalah elemen ketiga dari kebahagiaan yang melibatkan hal-hal yang lebih besar
dari diri kita sendiri. Berada pada rel kehidupan yang menurut kita tepat akan
menghasilkan rasa bahagia. Elemen ini mungkin melibatkan ilmu pengetahuan,
ideologi, keluarga, komunitas, nilai-nilai, keadilan, atau bahkan agama.
Kecenderungan
untuk mengejar kebahagiaan melalui pleasure
disebut sebagai mengejar the pleasant
life. Kecenderungan untuk mengejar kebahagiaan melalui engagement disebut sebagai mengejar the good life. Kecenderungan untuk mengejar kebahagiaan melalui meaning disebut sebagai mengejar the meaningful life. Sedangkan seorang
yang mengejar semua elemen kebahagiaan itu disebut mengejar full life dan akan mendapatkan kepuasan
hidup yang penuh atau kebahagiaan.
Martin
Seligman sudah melakukan riset dan menunjukkan bahwa 3 elemen kebahagiaan ini
bisa dipacu melalui program tertentu dan bisa meningkatkan kebahagian. Hasil
dari program ini bahkan mengejutkan, karena kebahagiaan yang dihasilkan tidak
segera menghilang dengan cepat, meski program dihentikan atau telah berakhir.
Sebagaimana sudah ditemukan dalam berbagai riset, kebahagiaan juga tercetak di
dalam gen setiap orang. Jadi ada orang yang sudah memiliki kecenderungan untuk
memiliki kebahagiaan tanpa harus melakukan upaya keras untuk mendapatkannya.
Namun bagi yang memiliki gen kebahagiaan yang tidak terlalu besar, tidak perlu
kecil hati, karena kebahagiaan dapat dibangun dengan relatif mudah.
Shawn
Achor mengatakan kebahagiaan adalah kondisi otak yang positif yang membuat otak
bekerja lebih maksimal. Dengan kondisi otak yang positif, Shawn Achor dalam
bukunya Happiness Advantage, menyebut kondisi itu memiliki
berbagai keuntungan, antara lain kecerdasan bertambah, kemampuan menganalisa
bertambah, kreativitas bertambah, kemampuan memori untuk menyimpan dan
mengambil meningkat, tidak mudah depresi, jika depresi lebih cepat pulih, cenderung
kepada kebajikan, lebih memiliki cinta kepada sesama manusia atau alam (damai
dan tidak merusak), pemurah (mudah menolong orang lain), kualitas hubungan
dengan orang lain menjadi lebih baik, memiliki tubuh yang lebih sehat dan
panjang umur.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz,
R. (2011). Pengalaman Spiritual dengan
Kebahagiaan pada Industri dan Organisasi. Jurnal Proyeksi, Vol. 3 No. 1 p.
210-217
Bekhet,
A.K., Zauszniewski, J.A.B., & Nakhala, W.E. (2008). Happiness: Theoretical and Empirical Considerations. Nursing
Forum, Vol.43 No.1 p.12.
Carr,
A. (2004). Positive Psychology: The
Science of Happiness and Human Strength. New York: Brunner-Routledge
Diner,
E., & Biswas-Diner, R. (2008).
Happiness: Unlocking the Mysteries Of Psychological Wealth. USA: Blackwell
Publishing.
Everill,
J.R., & More, T.A. (2000). Happiness,
Dalam M. Lewis & J.M Jones (Eds), Handbook of Emotions, New York: The
Gildford Press.
Fave,
A.D., Brdar, I., Freire, T., Vella Brodrick, D., & Wissing, M.P. (2010). The Edaimonic and Hedonic Components of
Happiness: Qualitative and Quantitative Findings. Journal of Social Indic
Res, Vol.10 p. 185-207
Harris,
R. (2011). The Happiness Trap: Hati-Hati
Dengan Kebahagiaan Anda. Terj. Krismariana. Yogyakarta: Kanisius.
Hylighen.
(1992). http://pespncl.vyb.ac.be/Heylighen
Irianto.,
& Subandi. (2015). Studi Fenomenologi
Kebahagiaan Guru di Pedalaman Papua. Jurnal Psikologi UGM, Vol.1 No.3
September. Hal. 140-166.
Keyes,
C.L.M., & Magyar-Moe, J.L. (2004). The
Measurement and utility of adult subjective well-being
Lu,
L., Gilmour, R., & Kao, S. (2001). Cultural Values and Happiness: An East-West
Dialogue. Juornal of Social Psychology, Vol.4 p. 477-493.
Peterson,
C., Park, N., & Seligman, M.E.P. (2005) Orientation
to Happiness and Life Satisfaction: The Full Life Versus The Empty Life. Department
Of Psychology University Of Michigan, Journal of Happiness Studies-Vol. 6 p.
25-41.
Raibley,
J.R. (2012). Happiness is not Well-Being.
Journal of
Happiness Studies, Vol. 13, p. 1105-1129
Seligman,
M.E.P (2005). Authentic Happiness:
Kebahagiaan Otentik Dalam Menciptakan Kebahagiaan Dengan Psikologi Positif. Terj. Eva Yulia Nukman,
Bandung: Mizan Pustaka.
Seligman, M.E.P. (2005). Positive psychology, positive prevention and positive therapy in
handbook of positive psychology. Edited by Lopez, S.J & Synder,
C.R.Washington DC : American Psychological Association http://authentichappiness.org
Sydney, C.R., & Lopez, S.J. (2007). Positive Psychology: The Scientific and
Practical Explorations of Humman Strengths. California: Sage.
Tkach,
C., & Lyubomirsky, S. (2006). How do
People Pursue Happiness: Relating Personality, Happiness Increasing Strategies
and Well-Being. Journal of Happiness Studies, Vol. 7, p. 183-226.
Wickham,
S.J. (2008). Being happy every moment. http://EzineArticels.com?experet-Steve_Wickham
Komentar