Defisit Pangan: Haruskah kita Kelaparan?


Ketika bencana (Covid-19) mewabah, dan kita diminta untuk stay at home, banyak orang mulai garang, bahwa ini harus ditantang. Kelaparan nyaris ‘mencekam’, membuat kita makin cemas akan kebutuhan hidup. Kekhawatiran kian menjadi bayang-banyang yang menghantui setiap orang. Memang masih ada yang bisa bertahan hidup, namun tak jarang pula banyak yang ‘mungkin bisa’ mati kelaparan. Ini semua bukanlah hukuman, tapi tantangan yang harus dilawan. Satu pertanyaan untuk direfleksikan, haruskah kita semua kelaparan? Haruskah kita kalah dari mewabahnya Covid-19 ini? Sungguh, bagi saya, persoalan ini merupakan suatu keprihatinan yang patut mendapat perhatian lebih, bukan saja pemerintah atau pun segelintir orang, tetapi merupakan perhatian kita semua.
Dapat kita lihat, betapa kayanya hasil alam kita. betapa kaya dan berlimpahnya hasil olahan tangan kita. Ibarat berlimpaah susu dan madu, itulah tanah kita. Seperti yang pernah kita dengar, “orang bilang tanah kita tanah Surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, itulah yang harusnya menjadi titik tolak bagi kita dalam berjuang dan bekerja mempertahankan hidup kita di tengah pandemi. Sang Pencipta sudah memberi kita tanah yang subur, dan dapat menghasilkan berbagai macam tanaman obat obatan dan bahan pangan untuk kebutuhan harian kita, serta memberi kita luasnya laut, dengan ikan-ikan, terumbu karang, dan hasil laut yang berlimpah ruah. Sungguh, kita patut bersyukur atas semua itu.
Harus diakui bahwa mewabahnya virus ini, seakan telah membuat kita tersisihkan. Lebih-lebih para petani, mereka terkena imbas yang sangat besar akibat diberlakukannya PSBB dan kita diminta untuk stay at home. Memang benar, untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini, kita diminta untuk tetap dirumah. Akan tetapi, bagaimana dengan para petani, yang menggantungkan hidup mereka di luar rumah (baca: kebun/lahan)? Untuk siapa sebenarnya himbauan untuk work from home? Apa arti WFH bagi Petani, jika hidup mereka bergantung sepenuhnya pada tanah? Saya melihat, ini bukan masalah yang mudah. Petani (ladang) yang hidpnya bergantung pada hasil pertanian lewat olahan tanah kebun, pada dasarnya tidak bisa tinggal di rumah. Mereka harus keluar dan bekerja di kebun. Maka benarlah bahwa ‘rumah’ mereka yang sebenarnya adalah ‘kebun’. Rumah mereka adalah tanah olahan. Untuk itu, himbauan bekerja dari rumah menurut para Petani adalah tetap bekerja di kebun, sebab tanah kebun adalah rumah hidup mereka. Karena itu, kita tidak boleh memandang rendah mereka, dan memperlakukan mereka tidak adil, sebab merekalah yang selalu menyediakan kita sepiring nasi setiap hari.
Kita tahu, bahwa saat ini persoalan serius yang sedang terjadi adalah kekurangan beberapa jenis bahan pangan pokok di sejumlah Provinsi. Saya kira, disaat sulit ini, kita juga perlu menyegarkan pikiran kita agar tidak stres dan cemas terhadap kebutuhan hidup harian. Mengapa demikian, karena berita mengenai defisit pangan selalu berimbas pada kenaikan harga bahan pangan di Pasar. Inilah yang kadang terlupakan oleh Pemerintah.
Terlepas dari itu, saya mau mengajak kita untuk melihat kekayaan alam yang ada di daerah saya, Nusa Tenggara Timur. Dengan gugusan pulau yang tersusun rapi, NTT memiliki berbagai macam kekayaan alam. Semuanya dapat diolah untuk kebutuhan harian. NTT, yang dikenal sebagai propinsi peternakan dan pertanian memang mempunyai banyak hasil pertanian dan peternakan. Kalau memang hasil pertanian kita sangat berlimpah, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa banyak sekali masyarakat kita yang masih cemas, gelisah, khawatir sampai akhirnya menjadi (seolah) ‘miskin’ dan ‘kelaparan’?
Coba kita kembali ke sejarah masa lalu, di mana pada zaman jepang, dulunya masyarakat kita mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Kemudian sekitar tahun 1965, jagung mulai sulit diperoleh. Akibatnya masyarakat mulai mengganti jagung dengan pangan berjenis ubi-ubian. Setelah itu, di masa orde baru, diadakanlah revolusi hijau, yang mengakibatkan pergantian pola makanan, di mana jagung diganti dengan beras. Pergantian pola makan inilah yang menjadi akar persoalan. Kini, beras dipandang sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakyat, sehingga kalau kita mengkonsumsi beras, itu sama saja kita telah menunjukan bahwa kita benar-benar sejahtera dan makmur. Kalau mengalami defisit beras, itu berarti kita akan kelaparan. Saya rasa, ini adalah argumentasi yang irasional dan karena itu, perlu adanya revolusi mental mengenai pemahaman akan pangan (lokal).
Dengan belum surutnya wabah Covid-19, tuntutan ekonomi untuk kebutuhan keluarga menjadi sangat tinggi, sehingga membuat semua orang harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Keadaan seperti ini membuat para orang tua yang hidup di zaman modern kesulitan untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang kebudayaan lokal, khususnya pangan lokal, sebagai salah satu alternatif di kala pandemi. Salah satu problem terbesar terhadap makanan lokal yang semakin tidak diminati masyarakat adalah semakin tingginya ketergantungan pada beras. Akibatnya, harga beras pun meroket karena ketersediaan makin menipis. Keadaan ini membuat permintaan dan persediaan menjadi tidak seimbang karena aktivitas masyarakat di rumah yang cukup besar yang setiap harinya.
Berkaca dari fakta tadi, saya ingin berargumen kepada kita semua bahwa sebenarnya kita masih punya harapan, karena pangan lokal masih cukup tersedia di tanah (daerah) kita masing-masing. Kenapa cemas dengan persoalan defisit beras? Kenapa kita tidak menggantinya dengan jagung atau ubi-ubian? Mungkin kita terlalu ‘milenial’ sehingga menganggap kalau pangan lokal itu kuno dan tidak enak. Padahal yang paling utama disini bukan soal enak atau tidaknya suatu makanan, melainkan keseimbangan gizi yang harus diprioritaskan.
Menurut penelitian Pusat Pengembangan Konsimsi Pangan (P2KP), dikatakan bahwa kandungan gizi jagung sebenarnya dua kali lebih banyak dari kandungan gizi beras. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila orang yang mengkonsumsi jagung akan mempunyai daya tahaun tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang mengkonsumsi beras. Sekali lagi, makanan bergizi seimbang tidak harus mahal, tidak harus di restoran, tidak harus yang mewah, tidak harus nasi. Makanan yang bergizi adalah makanan yang diolah dengan kebersihan dapur yang terjaga, dan disajikan dengan sukacita. Sekali lagi, makanan lokal adalah milik kita. Pangan lokal adalah kekayaan budaya kuliner kita yang tidak boleh diremehkan, sebab, selain baik bagi kesehatan, makanan lokal yang diolah dengan variasi, juga turut mempengaruhi stabilitas dan keberadaan pengan lokal dari suatu daerah.
Negara kita, Indonesia, mempunyai jenis makanan lokal yang sangat beragam. Karena itu, sangat tidak benar jika mengatakan bahwa kita akan kelaparan selama pandemi ini. Padahal kita sedang hidup di atas tanah yang subur dan berlimpah hasil pertanian. Menurut saya, sebenarnya kelaparan terjadi bukan karena kita kekurangan makanan, tetapi karena kita ‘malas’ bekerja dan tidak mempunyai kemampuan untuk berkreasi, mengolah pangan lokal yang ada menjadi makanan yang istimewa dengan bentuk dan ciri-corak yang khas. Ketrampilan yang dimiliki masyarakat kita dalam mengolah pangan lokal masih sangat kurang. Akibatnya, kita menjadi bosan dengan makanan yang hanya “itu-itu” saja. Padahal, walaupun jenis makanan itu sederhana, tapi kalau diolah dengan baik, tentu akan menjadikan makanan tersebut enak dinikmati dan pastinya mempunyai kandungan gizi yang tinggi pula. Jenis makanan lokal yang bervariasi ini akan membuat masyarakat tidak bosan dan tentu tidak kelaparan karena dapat memilih berbagai alternatif makanan lain. Misalnya, selain beras, kan masih ada ubi dan jagung yang baik juga untuk pemenuhan kalori dalam tubuh. Kalau demikian, maka defisit berbagai jenis komoditas (khususnya beras) yang terjadi di beberapa Provinsi tidak perlu terlalu dirisaukan. Yang penting saat ini adalah mencari alternatif terbaik dan membuat regulasi yang tepat sasar, sehingga ‘perut’ masyarakat bisa tercukupi.

Komentar

Postingan Populer