“FIDES ET RATIO”


Menelaah Relasi Iman dan Akal Budi (Rasio)
...Dalam diri seseorang, tidak semua hal yang menyangkut keyakinan berada dalam pemahaman ‘yang sempurna’. Ada hal-hal tertentu dari yang diimani itu, nampak sebagai keyakinan semata. Keadaan seperti ini, pada akhir menjadi sebuah diskusi dalam ranah teologis, dengan memproyeksikan adanya ‘jurang’ antara Iman dan Akal (Rasio). Jurang ini bisa menghidupkan bias perwujudan iman yang sejati sebagai fanatisme sempit, atau sebaliknya menghidupkan kepandaian yang berpotensi melahirkan ateis-ateis sejati…[1]
Banyak yang menganggap bahwa kita sebagai orang beragama, tidak perlu memakai rasio, tetapi hanya cukup percaya saja dengan iman. Sedangkan di pihak lain, banyak kaum cendekiawan yang menolak dan menghina agama (iman) karena mereka berpikir bahwa iman itu bertentangan dengan rasio serta menganggap rasio lebih unggul dan bisa menghakimi segala sesuatu. Sungguh kompleks permasalahan ini. Lantas, manakah pandangan yang tepat? Di tengah dua arus besar inilah, banyak teolog mulai memberikan penjelasan yang komprehensif  mengenai hubungan antara iman dan rasio secara tuntas. Sadar atau tidak sadar, manusia adalah makhluk rasional. Manusia berbeda dari semua binatang karena ia mempunyai rasio. Hal ini ditegaskan Aristoteles, seorang filsuf klasik yang mewakili dunia barat. Sedangkan menurut Mensius sebagai perwakilan dari dunia Timur, yang menjadi titik pangkal perbedaan manusia dari binatang adalah karena ia mempunyai hati nurani. Dari sini, kita dapat bertanya lagi, apakah yang dikatakan oleh firman Allah?
Manusia adalah gambar Allah (Imago Dei). Ia adalah mahkota ciptaan Allah. Ia adalah ciptaan kesayangan Allah. Ia sangat istimewa. Ia diciptakan hampir setara dengan Allah. Sungguh luar biasa manusia itu. Lalu, apa arti semua ini? Sesungguhnya manusia mempunyai rasio, kebebasan, hati nurani, moral, dan sifat khas lainnya, yang tidak dimiliki makhluk ciptaan manapun. Karena itu, dapat saya katakan bahwa rasio adalah salah satu hal penting, yang diberikan Allah dan yang membedakan kita dari semua makhluk ciptaan. Memang banyak orang sudah mempersoalkan hubungan antara iman dan rasio sejak dahulu kala. Dan ternyata ketetegangan hubungan di antara keduanya bukanlah hal yang baru, karena setiap zaman memang mendapat serangan yang berbeda, tetapi memiliki dasar esensi yang sama, yaitu konflik antara iman dan rasio. Apakah iman dan rasio tidak dapat berjalan beriringan?
Sebenarnya, iman dan rasio dapat berjalan sejajar, dan iman haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. St. Agustinus, seorang Imam dan dan pujanggan Gereja, dalam pemikiran filosofisnya pada awal abad pertengahan, memberikan suatu sintesis yang mendasar akan hubungan antara iman dan rasio. Setelah ia bertobat dan menemukan iman Kristen, Agustinus tidak meninggalkan peran rasio (filsafat) apa lagi memandang rendah pengaruhnya. Karena itu, ia mulai mencari pendasaran yang pasti tentang iman itu sendiri. Dan ia menemukannya dalam Kitab Suci. Karena menyadari ketidakpastian rasio (fiilsafat) yang ditemukan dalam petualangan hidupnya, ia kemudian menjadi sadar akan keterbatasan rasio manusia. Ternyata, rasio manusia terasa lemah untuk bisa menemukan kebenaran dari dirinya sendiri. Karena itu dibutuhkan otoritas Kitab Suci. Walaupun demikian, Agustinus tetap memberikan tempat penting untuk pemikiran dan pertimbangan rasio yang mampu mempertanggung jawabkan apa yang diimani.
Iman membutuhkan rasio agar orang dapat berbicara tentangnya dengan orang lain. Tetapi rasio yang benar harus didasarkan pada iman. Agustinus mengatakan : “Tidak ada orang yang dapat menemukan Allah, apabila ia tidak mempercayai sebelumnya apa yag dipikirkannya sesudahnya”. Iman memang mendahului rasio (akal budi). Namun iman yang mendahului rasio itu mengharuskan adanya pemahaman yang benar. Karena itu, siapa yang mengira bahwa segala sesuatu itu hanya untuk diimani, sesungguhnya dia tidak mengetahui apa gunanya beriman. Pada tataran rasio, iman harus jelas. Otoritas menuntut iman dan mempersiapkan manusia untuk memahami. Sementara rasio menghantar manusia kepada pemahaman dan pengenalan yang tepat. Salah satu rumusan filosofis yang indah dalam pemikiran Agustinus yaitu  Apabila engkau tidak dapat mengetahui, maka percayalah, supaya engkau tahu. Rumusan ini kemudian diformulasikan oleh St. Anselmus dari Canterbury dengan mangatakan Credo ut itelligam (saya percaya, supaya saya mengerti).[2]
Namun, sebagai orang beriman, kita tentu sepakat bahwa iman harus menempati tempat yang utama. Imanlah yang menyebabkan kita dapat berdiri di hadapan Allah. Tetapi orang yang berdiri di hadapan Allah juga harus berdiri di hadapan manusia. Dengan iman, kita berdiri di hadapan Allah, dan dengan pengetahuan, kita mengerti bahwa kita berdiri di hadapan Allah. Sesungguhnya, Iman yang menolong budi, indra tak mencukupi. Demikian kata St. Thomas Aquinas. Dikatakan dengan jelas dalam Ibrani 11: 3 bahwa “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat”. Kita dapat mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti dulu baru kita beriman. Namun demikian, harus diperhatikan juga pandangan yang seimbang, bahwa kita sebagai orang beriman tidak boleh mereduksi peranan rasio, tetapi juga tidak boleh mengagung-agungkan rasio. Orang Kristen harus menggunakan rasio sebaik mungkin dan rasional, tetapi tidak jatuh menjadi seorang rasionalis. Ada hal-hal yang perlu diimani untuk dapat dimengerti, namun ada pula hal-hal yang nampaknya tidak dapat dijelaskan, akan tetapi dapat diterangkan oleh ‘rasio beriman’. Rasionalitas iman, akan membuat iman itu sendiri menjadi lebih jelas, walaupun memang masih ada rahasia iman yang sulit tersingkapkan, namun hal itu sama sekali tidak meniadakan peran rasio. Jika kita katakan bahwa sesuatu itu rahasia, maka hal yang dimaksud adalah isinya, namun bahwa rahasia itu ada, dapat dikenal melalui rasio.[3]
Selain itu, Katekismus Gereja Katolik mengatakan : Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri yakni Wahyu Ilahi. Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Allah kita Yesus Kristus dan Roh Kudus.(KGK 50). Selanjutnya, dijelaskan bahwaIman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi “kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melalui cahaya akal budi alamiah (Tomas Aqu., s.th. 2-2,171,5 obj.3). “Ribuan kesukar-sulitan tidak sama dengan kebimbangan” (J.H. Newman, apol.).“ (KGK 157.)
Topik yang bisa dikatakan urgen untuk menelaah relasi antara iman dan rasio ialah menyangkut eksistensi Allah. Walaupun pembuktian akan eksistensi Allah selalu melibatkan peran iman dan rasio manusia, tetapi tetap saja menimbulkan pro-kontra. Secara pribadi, saya tidak sependapat dengan mereka yang kurang memperhatikan peran rasio bagi pembuktian eksistensi Allah. Apa yang mereka anggap sebagai ‘arogansi rasio’ tidak selamanya benar ketika kita memikirkan bahwa tidak mungkin dimiliki pengenalan yang benar tentang Allah (misalnya dari pewahyuan) tanpa menggunakan akal. Keyakinan yang tidak berakal, berpotensi besar untuk menciptakan fanatisme-fanatisme sempit. Karena itu, rasio tidak harus bertentangan dengan iman. Dari pada memaksakan dan mematikan peranan rasio, lebih baik rasio diposisikan sebagaimana mestinya, sebab dengan rasio pertanggungjawaban tertentu atas iman dapat diberikan. Sehubungan dengan wawasan dunia seseorang, iman dan rasio memiliki peranan yang saling berkaitan dan saling mendukung. Iman tidak seharusnya mematikan rasio. Sebaliknya rasio justru akan menjadi irasional manakala mengabaikan iman. Dengan rasio, seseorang mampu menjawab beberapa hal sehubungan dengan pertanggungjawaban imannya. Dengan iman, rasio diletakkan sedemikian rupa untuk memahami hal-hal yang ‘tidak masuk akal’. Dengan rasio, seseorang dimungkinkan untuk memberikan pemahaman dan penalaran yang terbaik atas apa yang diyakininya itu.
Secara prinsip Gereja Katolik percaya bahwa tidak ada pertentangan antara rasio dan iman, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Kalau sampai rasio bertentangan dengan iman, maka manusia tidak menggunakan rasionya itu sebagaimana mestinya atau dengan kata lain tidak mempercayai iman yang Ilahi. Karena Allah tidak dapat mempertentangkan Diri-Nya sendiri, maka anugerah rasio dan iman juga tidak mungkin saling bertentangan. Banyak Bapa Gereja yang dapat menerangkan misteri iman secara baik dengan bantuan filsafat. Sintesis dari iman dan rasio memuncak dalam tulisan St. Thomas Aquinas, secara khusus dalam Summa Theologiae. Kita harus mendudukkan iman dan rasio pada posisi masing-masing. Rasio mempunyai keterbatasan, karena memang pemikiran manusia terbatas. Sedangkan iman memberikan kepada kita rencana Allah yang tak mungkin dapat dicapai hanya dengan menggunakan rasio. Sebagai contoh, dengan rasio, kita dapat mengetahui bahwa Allah itu satu, Allah adalah baik, dan seterusnya. Namun rasio tidak dapat mencapai pemahaman bahwa Allah adalah satu dalam tiga pribadi. Hal ini hanya mungkin kalau Allah sendiri menyatakannya kepada manusia. Setelah Allah menyatakannya, maka manusia dapat menguak misteri ini dengan rasio, misalnya dengan filsafat. Oleh karena itu, melalui filsafat, rasio membantu manusia untuk dapat mengungkapkan misteri iman dengan lebih baik dan dengan penjelasan yang masuk akal. Sedangkan iman menjadi suatu panduan bagi rasio, sehingga tidak salah arah.
Dalam catatan sejarah, memang para Bapa Gereja banyak menggunakan dasar-dasar filosofis, terutama dari Plato dan Aristoteles untuk dapat memasuki misteri iman dengan lebih baik. Gereja pun mengambil apa yang baik dari filsafat tersebut, sehingga membantu manusia untuk memahami iman dengan lebih baik. Kalau kita dapat mengerti alasan mengapa kita percaya akan apa yang kita percayai, maka kita dapat mempercayai apa yang kita percayai itu dengan lebih kuat lagi dan pada akhirnya akan membantu kehidupan spiritual kita.  Jelaslah bahwa, iman tidak bertentangan dengan rasio. Iman menuntut adanya rasio agar dapat dipahami dengan benar dan rasio membutuhkan iman agar tidak menjadi irasional.
Iman harus Bernalar dan Nalar harus Beriman. Jadilah pribadi yang beriman rasional sehingga memiliki rasionalitas iman yang matap.
...Selamat Menapaki Tahun Iman...




[1] Kumpulan Kata-Kata Inspiratif tentang Iman, Kanisius : Yogyakarta, 1998. hal. 32
[2] Dr. Paul Budi Kleden Diktat Filsafat Abad Pertengahan, Ledalero : Maumere, 2002, hal. 29
[3] Ibid. hal. 30

Komentar

Postingan Populer