Bahaya bullying di Seminari
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya,
seorang remaja berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua dengan maksud
untuk menemukan jati diri mereka. Inilah yang dikatakan Erick Erikson sebagai
proses mencari ego-identity
(Crocetti, 2017). Dalam pencarian identitas diri, remaja mengalami proses
perubahan, baik karena pengalaman maupun usia. Kekhasan dan keunikan sifat
remaja juga nampak dalam diri para siswa Seminari (Seminaris). Sebagai remaja,
Seminaris mulai mengenal lingkungan yang lebih luas. Sosialisasi yang dialami
Seminaris mulai bertambah luas ketika mereka berinteraksi dengan teman
sebayanya. Hal ini membuat keterampilan sosial Seminaris makin meningkat karena
selalu ada bersama dalam satu asrama. Jika nilai-nilai positif yang didapat
dari rumah dan di Seminari terserap dengan baik, maka keterampilan sosial yang
dimiliki Seminaris bisa lebih baik. Sebaliknya, apabila sosialisasi nilai-nilai
yang ditanamkan keluarga dan lembaga Seminari kurang terserap, maka bisa jadi
perkembangan perilaku prososialnya terhambat. Akibatnya, remaja (Seminaris)
mulai menunjukkan gejala-gejala patologis seperti kenakalan, dan perilaku-perilaku
beresiko lain, salah satunya adalah bullying.
Saat ini, bullying merupakan istilah yang tidak asing bagi kita. Bullying adalah tindakan penggunaan
kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal,
fisik, maupun psikologis, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak
berdaya (Sejiwa, 2008). Dalam bahasa Indonesia, kata ini sedikit sulit
ditemukan, karena belum terlalu familiar. Akan tetapi, kata bullying dapat dipadankan dengan kata
perundungan, intimidasi atau penindasan. Menurut Ken Rigby, (2008) bullying adalah sebuah hasrat untuk
menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi atau tindakan, yang
menyebabkan seseorang menderita (baik secara verbal, fisik maupun psikis). Aksi
ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih
kuat, tidak bertanggung jawab, dan biasanya berulang. Pelaku bullying bisa seseorang, bisa juga
sekelompok orang, dan ia/mereka mempersepsikan dirinya memiliki power (kekuasaan) untuk melakukan apa
saja terhadap korbannya. Korban juga mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang
lemah, tidak berdaya dan selalu merasa terancan.
Terdapat beberapa bentuk perilaku yang
dikategorikan sebagai bentuk bullying
diantaranya bullying fisik, bullying verbal, dan bullying psikologis. Bullying fisik meliputi perilaku yang
menyerang fisik, bullying verbal
meliputi perkataan yang merendahkan korban, sedangkan bullying psikologis meliputi semua perilaku yang menyerang korban
secara psikologis yang dapat berbentuk nonverbal, tidak langsung, atau
intimidasi dalam kelompok sosial yang berdampak pada psikis korban.
Perilaku bullying (perundungan) banyak terjadi di lingkungan sekolah dan
dilakukan oleh para siswa (remaja). Dampak yang diakibatkan oleh tindakan ini
pun sangat luas cakupannya. Remaja (siswa) yang menjadi korban bullying lebih berisiko mengalami
berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Adapun masalah
yang mungkin diderita siswa yang menjadi korban bullying, antara lain munculnya berbagai masalah mental seperti
depresi, kegelisahan, takut, keluhan kesehatan fisik seperti sakit kepala,
sakit perut dan ketegangan otot, rasa tidak aman saat berada di lingkungan
sekolah/asrama, serta penurunan semangat belajar dan prestasi akademis.
Perilaku bullying ini ternyata tidak saja terjadi di sekolah umum, melainkan
sudah merambat ke sekolah berasrama (Seminari). Beberapa hari yang lalu, kita
dihebohkan dengan kasus ‘bullying fisik’
(intimidasi/penindasan fisik – memaksa makan kotoran manusia) dari kakak kelas
XII terhadap adik kelas VII di Seminari Bunda Segala Bangsa-Maumere. Kasus ini
kemudian diangkat menjadi berita utama dari sejumlah media cetak dan media
online. Pos Kupang, tanggal 26 dan 27 Februari 2020, membeberkan bahwa
persoalan ini terungkap setelah salah seorang siswa kelas VII melaporkan
kejadian tersebut kepada Pembina Seminari (para Pastor dan Frater TOP). Atas
laporan ini, para Pembina kemudian memanggil semua siswa kelas XII dan
mengadakan pertemuan antara pihak sekolah (Seminari) dengan orang tua siswa.
Kasus ini menggemparkan khalayak umum, karena tidak disangka, di Seminari
sebagai salah satu tempat persemaian benih panggilan khusus menjadi Pastor
Katolik, ternyata bisa terjadi hal yang sangat tidak manusiawi.
Bahwasannya perilaku yang ditampakkan
oleh para siswa (kelas XII) tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Persitiwa ini kemudian disorot oleh banyak perspektif dan pendekatan guna
mencari cara terbaik untuk menyelesaikannya. Beragam ide dan usulan dilancarkan
ke pihak Seminari agar segera menuntaskan persoalan tersebut. Salah satu usul
yang sangat saya setujui adalah membawa persoalan ini ke ranah hukum, sebab
tindakan tersebut termasuk dalam tindak kekerasan, sehingga para ‘pelaku’ perlu
dihukum secara adil dan setimpal dengan perbuatan yang mereka lakukan. Hal ini
dimaksudkan agar menimbulkan efek jera pada para pelaku. Memang pihak Seminari
sudah melakukan pertemuan dengan orang tua siswa untuk menyelesaikan persoalan
ini secara kekeluargaan. Akan tetapi, tidak cukup hanya dengan meminta maaf dan
menyesali peristiwa keji tersebut, karena perilaku bullying memiliki pengaruh buruk bagi perkembangan siswa (remaja)
di Seminari, secara khusus dalam ranah psikis dan mentalnya. Dalam kondisi
inilah, dibutuhkan penanganan yang serius melalui pendampingan psikologis.
Lantas, bagaimana pendekatan psikologis yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?
Penanganan psikologis sejatinya tidak
hanya ditujukan untuk korban bullying.
Pelaku bullying juga perlu mendapat penanganan
khusus agar tidak mengulangi tindakan tersebut. Pelaku bullying harus ditangani dengan psiko-edukasi berdasar kesabaran
dan empati, sembari tidak menyudutkannya dengan pertanyaan yang interogatif.
Mereka perlu diberi kepercayaan agar dapat memperbaiki dirinya. Empati dan rasa
bersalah perlu ditumbuhkan, agar mereka dapat merasakan perasaan yang dialami korban
saat menerima perlakuan bullying. Pelaku
perlu diberi pengakuan akan kelebihan atau bakat di bidang yang positif. Tindakan
tegas dan disiplin dari pihak Seminari dengan mengeluarkan (drop out) pelaku, sudah sangat tepat. Sekarang,
yang perlu diperhatikan adalah pendampingan yang intens terhadap para Seminaris
(khususnya korban/adik kelas) yang masih berada di Seminari. Rasa bersaudara
dan bersahabat antara kakak dan adik kelas perlu ditingkatkan, semisal dengan
membangun semangat kolaborasi dan kerja sama di antara mereka.
Disamping itu, korban bullying memerlukan penangan khusus. Korban
bullying mungkin lebih cenderung
menutup diri, stres, tertekan, takut, cemas, bahkan bisa sampai pada trauma dan
depresi. Karena itu, perlu ditumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri agar dia menjadi
lebih terbuka dalam menerima masalahnya. Jika korban sudah terbuka dan bisa
lebih tenang, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan yaitu menghormati
pilihan dan membekalinya dengan cara positif dalam menghadapi tekanan atau stressor di Seminari. Korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying dengan tegas tapi peduli. Rasa
percaya diri korban bullying perlu ditingkatkan
sehingga mampu menghadapi tekanan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak menimbulkan
dendam. Dengan begitu, mata rantai ‘tradisi buruk’ di Seminari bisa terputus.
Komentar