Orang Muda Katolik : Dalam Tantangan dan Peluang Globalisasi
DUNIA dalam Genggaman |
I.
Pengantar
Berbicara tentang
globalisasi pada saat ini bukan lagi sesuatu yang elitis. Manusia dari pedalaman Tanah Naikliu atau pun Oepoli sampai di kota besar New York, atau dari Taman Nostalgia-Kupang sampai Taman Impian Jaya
Ancol-Jakarta, tanpa menyebut kata itu,
kita sudah menjadi bagian dari globalisasi, baik sebagai korban atau telah ikut
berpartisipasi di dalamnya. Dari kaum muda yang hobi seni, sampai yang memusatkan
perhatiannya pada panggilan iman, kita semua ada dalam globalisasi
itu. Sehingga, sangat tepatlah jika dalam kesempatan
edisi mading kali ini, kita bicara
topik globalisasi. Kepentingannya, antara lain, pertama Kita mendapat pengetahuan dan
wawasan tentang apa dan bagaimana globalisasi
itu, yang dengannya kita tahu tantangan dan peluang. Kedua, Globalisasi adalah konteks di mana kita, kaum muda gereja,
mengimplementasikan panggilan bergereja. Sehingga, rumusan pemikiran teologis
dan aksi bergereja kita dapat menyentuh konteks. Ketiga, Kita dapat
mengerti di mana seharusnya posisi kita di era modern ini.
II.
Sejarah, Pengertian dan Fenomena Era Globalisasi
Istilah era
globalisasi terdiri dari dua kata, yaitu era dan globalisasi. Era berarti
tarikh masa, zaman; sedangkan globalisasi berarti proses mengglobal, proses
membulat, proses mendunia. Dengan demikian era globalisasi yang kadang juga
disebut era mondialisasi itu berarti zaman yang di dalamnya terjadi proses
mendunia. Proses mendunia ini yang terjadi sejak tahun 1980-an itu terjadi di
pelbagai bidang, misalnya di bidang politik, bidang sosial, bidang ekonomi, dan
bidang agama; terutama sekali di bidang teknologi. Secara konkret agaknya perlu
diberikan contoh tentang proses mendunia tersebut. Perkembangan budaya manusia
dewasa ini telah mencapai taraf yang luar biasa, yang di dalamnya manusia
bergerak menuju ke arah terwujudnya satu masyarakat manusia yang mencakup
seluruh dunia; satu masyarakat global. Dengan teknologi transportasi dan
komunikasi serba canggih yang berhasil diciptakannya, manusia telah berhasil
mengatasi jarak yang dahulu memisah-misahkan manusia yang satu dari yang lain
(dan juga yang memisah-misahkan suku bangsa yang satu dari yang lain bangsa
yang satu dari yang lain; budaya yang satu dari yang lain, agama yang satu dari
yang lain). Dengan berkembangnya teknologi transportasi dan komunikasi seperti
itu jarak antarkota, antarpulau, antarnegara, dan antarbenua seolah tidak ada
lagi.
Para pakar, seperti Tom G. Palmer dari Cato Institute
mendefinisikan globalisasi sebagai penurunan atau
penghapusan batas negara melalui penerapan bursa lintas batas dan sistem global
yang semakin terintegrasi serta produksi yang kompleks yang menghasilkan
pertukaran. Thomas L. Friedman berpendapat, perdagangan global, outsourcing,
supply-chaining, dan kekuatan politik telah mengubah dunia secara
permanen untuk kedua kalinya, yang bisa lebih baik atau lebih buruk. Ia juga
berpendapat bahwa laju globalisasi adalah mempercepat dan akan terus memiliki
dampak yang tumbuh di organisasi dan praktek bisnis. Noam Chomsky berpendapat
bahwa kata globalisasi juga digunakan dalam pengertian doktrinal, untuk
menggambarkan bentuk globalisasi ekonomi neoliberal. Herman E. Daly berpendapat bahwa
kadang-kadang istilah internasionalisasi dan globalisasi digunakan secara
bergantian tetapi ada perbedaan yang sedikit formal.
"Internasionalisasi" merujuk pada pentingnya perdagangan
internasional, hubungan, perjanjian, dll. Internasional berarti antara atau
antar bangsa. "Globalisasi" berarti penghapusan batas-batas nasional
untuk tujuan ekonomi, perdagangan internasional (diatur oleh keunggulan
komparatif) menjadi perdagangan antar-regional (diatur oleh keuntungan
absolut).
Saat
ini, globalisasi di bidang
ekonomi dan politik telah memberi pengaruh sampai ke perubahan kebudayaan dan
pola pikir masyarakat dunia. Kemajuan teknologi- informasi yang kian pesat
telah memungkinkan menyebarnya nilai-nilai dan ideologi satu lokus ke
lokus-lokus yang lain. Gaya hidup sebuah lokus, budaya populer, pemikiran dan
doktrin begitu cepat menyebar dengan bantuan handphone, internet dengan
berbagai layanannya seperti situs jejaring sosial Facebook, dan TV Kabel
(Parabola). Kota-kota kecil atau besar ditandai dengan berdirinya mall-mall dan
restoran-restoran cepat saji antara lain seperti KFC, McDonald, Ramayana, Hypermart dan sebagainya, yang kesemuanya itu bukan hanya
persoalan ”perut” tapi juga gaya hidup yang semakin tersentralisasi. Dengan semakin canggihnya alat-alat informasi, seperti sistem teleconference
manusia yang berbeda jarak bisa bertemu muka dengan muka meski hanya sebatas
gambar bergerak. Dalam kekristenan globalisasi memberi pengaruh dengan semakin
merebaknya ”Gereja TV”, yaitu para
pengkhotbah yang menggunakan televisi sebagai media menyampaikan Firman Tuhan.
Berita firman memang semakin mudah tersebar, tapi konsekuensinya adalah
kehilangan sentuhan pastoral dalam pelayanan firman. Kemajuan teknologi dan
informasi serta perdagangan antara negara, telah membuat dunia ini menjadi
datar. Saling tukar informasi, pengetahuan, juga doktrin (baik atau buruk)
semakin mudah dan cepat menyebar. Ini tantangan, tapi juga menyimpan peluang.
III.
Kaum Muda Gereja Dalam Tantangan dan Peluang Globalisasi
Globalisasi telah menyejarah. Meskipun, tampaknya,
globalisasi adalah proses sengaja untuk penguasaan ekonomi dan politik oleh
negara-negara kapitalis. Kaum muda gereja yang sementara berada ada dalam
realitas sejarah itu, adalah orang-orang muda, yang sementara berada dalam
dunianya yang dinamis, kreatif, inovatif, suka tantangan dan hal-hal yang baru.
Meski secara psikologis kaum muda gereja mencirikan itu, namun, identitas yang
mestinya menjadi spiritnya adalah nilai-nilai kekristenan. Kaum muda Kristen,
idealnya adalah orang-orang muda yang dengan komitmen penuh, tapi kreatif dan
inovatif ikut ambil bagian menjadi media atau agen untuk menjalankan misi Allah
(Missio Dei), yaitu menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di muka bumi ini.
Apa tanda-tanda kerajaan Allah itu? Dalam refleksi iman, tanda-tanda kerajaan
Allah itu berupa keadilan, kebenaran dan panggilan kemanusiaan. Itulah yang
kita sebut-sebut dengan ’syalom”,
damai sejahtera untuk sekalian alam ini.
Globalisasi, pada banyak hal mengancam situasi yang
damai dan nyaman penghuni dunia ini. Pertarungan politik-ekonomi global,
menyebarnya ide-ide dan gagasan-gagasan serta doktrin negara-negara maju yang
kapitalistik telah berdampak pada pe(ke)miskinan dan ancaman kerusakan
lingkungan hidup pada masyarakat dunia ketiga (termasuk kita di Asia
dan Indonesia terlebih khusus). Perubahan kebudayaan, cara pikir dan paradigma
yang khas lokal, membawa konsekuensi berubahnya
pola hidup, yang cenderung menjadi konsumeris, hedonis
dan gila kekuasaan. Gereja pun muda dikomersialisasi. Hal
ini tentu memberi dampak pada kehidupan keagamaan atau religiusitas. Gereja
yang merupakan perkumpulan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, mau
atau tidak mau, sadar atau tidak sadar ada dalam pengaruh globalisasi yang
menyebarkan ide-ide dan gagasan-gagasan itu.[1]
Namun
demikian, globalisasi sesungguhnya sudah
menjadi kenyataan. Masyarakat
penghuni bumi sudah terlanjur diintegrasikan oleh kuasa politik dan ekonomi
yang menaklukan itu. Makanya,
jika kaum muda diam, maka peradaban dan kehidupan keagamaan kita akan tergilas
oleh arus kuasa itu. Melawan globalisasi mungkin tidak efektif langsung
menerjang kuasa-kuasa itu. Barangkali kita perlu membuat ”arus balik”, yaitu
mengglobal dari lokus kita atau menunggangi globalisasi untuk survive
menggapai masa depan. Nilai-nilai Injil yang mengandung keadilan, kebenaran,
kesetaraan serta kemanusiaan adalah spirit untuk menghadang dehumanisasi kuasa
globalisasi. Kaum muda silakan masuk ke dalam arus globalisasi itu, tapi ingat
spirit kita adalah kasih yang menembus batas perbedaan dan tanpa pamrih. Visi
kita adalah untuk hidup yang damai sejahtera. Kaum muda Kristen yang sudah di
dalam arus globalisasi itu setidaknya harus memiliki kualitas hidup yang
Injili, yaitu : Inklusif tapi Idealis, Kreatif, Inovatif, Cerdas,
Sehat Jasmani dan Rohani. Niscaya, dengan kualitas hidup
seperti itu kaum muda Kristen bisa ’bertarung’ dan mengambil bagian mengerjakan
misi Allah untuk hidup yang damai sejahtera.
IV.
Catatan Akhir
Dalam tantangan dan peluang
globalisasi ini, kita sebagai kaum muda terpanggil untuk merefleksikan hidup mudanya dalam usaha
mengambil bagian menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah itu. Secara teologis,
Allah berkehendak agar kaum muda tidak menyia-nyiakan hidup mudanya untuk
hal-hal yang tidak berkualitas. Kaum muda terpanggil untuk memaknai usia
mudanya untuk kebaikan dan kebenaran. Sebab Tuhan menilai kehidupan kita. Dalam Timotius jelas sekali disebutkan panggilan itu : ”Sebab itu jauhilah nafsu orang
muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka
yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni.” Usia muda adalah masa di mana kaum muda diberi kesempatan untuk berkarya
dan mengabdikan hidupnya untuk kehidupan bersama yang lebih baik. Teladan masa muda Yesus bagi kita adalah hikmat yang dimiliki-Nya yang
membuat ia dikasihi oleh Allah dan sesama manusia. Dan terutama, alkitab
menyaksikan bahwa Yesus memenuhi panggilan Allah untuk tugas menyelamatkan
dunia ketika Dia masih muda. Panggilan kaum muda gereja di era globalisasi ini
adalah tanggung jawab menghadirkan nilai-nilai kehidupan yang terbuka/pluralis,
egaliter, konstruktif, humanis, idealis, pro keadilan dan kebenaran, serta
kreatif dan inovatif mengusahakan/mengolah sumber daya alam; dan memberdayakan
fasilitas-fasilitas tekonologi yang semakin canggih untuk kemanusiaan. Ituah nilai-nilai Injil dalam
interpretasi kita di era globalisasi ini.
Pustaka :
·
Soetopo,
Hendyat. Globalisasi dan Kaum Muda (Teori, Permasalahan, dan Praktek),
Malang : UMM Press. 2005.
·
Achmadi
Asmoro. Globalisasi 2003. Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada.
·
Shindunata,
SL. Mengauk
Misteri Masa Depan Globalisasi, Kanisius, 1998.
·
Mariasusai
Velanova, Sejarah Globalisasi, Obor : 1999.
·
www http// Wikipedia Ensiklopedi Bebas.com
[1] Soetopo, Hendyat. Globalisasi
dan Kaum Muda (Teori, Permasalahan, dan Praktek). Malang : UMM Press.
2005.
Komentar