Kekuatan IMAN ditengah PANDEMI
Banyak orang mengatakan kalau Gereja saat ini sedang mengalami ‘krisis’ iman karena berhadapan dengan pandemi
Covid-19. Krisis ini terjadi karena
sudah hampir 1 bulan umat Katolik tidak menerima Komuni Kudus dalam Ekaristi,
setiap hari minggu di Gereja.
Bagi saya, hal ini hanya suatu kemungkinan. Mengapa saya katakan mungkin,
karena sampai saat ini pula, umat terus berdoa bersama (misa dari rumah) setiap hari Mimggu, sembari
menerima ‘Komuni Batin (Spiritual).
Karena itu,
terlalu prematur kalau saya mengatakan bahwa Gereja sedang dilanda krisis iman.
Namun demikian, tak bisa kita pungkiri bahwa secara
pribadi, orang merasa tidak aman dan cemas akan perkembangan dunia saat ini,
khususnya gelisah karena harus berhadapan dengan wabah mematikan, dan wajib mengikuti instruksi
Pemerintah. Kebiasaan pergi ke Gereja
dan merayakan Misa, merupakan tindakan ‘suci’ yang kini harus dipending untuk
memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Akan
tetapi, kecemasan dan
kegelisahan ini tidak serta merta dikatakan sebagai ‘krisis’ iman. Orang
kemudian bertanya, sampai kapan kita akan terus merayakan Perayaan Ekaristi dari rumah? Sampai kapan kita hanya menerima ‘Komuni Batin’? Bisa dibilang inilah dasar munculnya
persoalan tentang iman itu sendiri.
Menurut saya, paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan
adanya keraguan dan ‘krisis’ iman,
khususnya mengenai iman zaman dahulu dalam Konsili
dan Pembangunan Masyarakat.
§
Konsili Vatikan II, mencoba merumuskan iman Gereja dalam
bahasa yang sederhana dan lebih manusiawi. Khusus dalam Gaudium et Spes, (tentang Gereja dan dunia), konsili diadakan bukan
untuk mengubah iman tetapi untuk ‘aggiornamento’
: untuk membuat Gereja menjadi lebih terbuka dan up to date, atau lebih sesuai dengan perubahan zaman yang ada sekarang
ini. Cukup lama Gereja mempunyai bahasa yang hanya dapat dipahami oleh kalangan
klerus pada khususnya dan orang katolik pada umumnya. Karena itu, konsili tidak
mau memakai bahasa yang sulit dipahami untuk membicarakan hal yang biasa.
Namun, karena adanya sikap terbuka terhadap perkembangan zaman, maka banyak
orang mulai berani mempertanyakan iman dan perkembangan Gereja dalam mengikuti
arus perubahan zaman. Pertanyaan itu sudah ada dalam diri orang katolik sejak
dahulu, namun selalu didiamkan saja karena dianggap kurang pantas. Sekarang
umat Kristiani mulai berani mengungkapkannya secara terbuka. Banyak orang mulai
mempertanyakan hal-hal yang dulunya dianggap suci, sakral dan keramat. Sangat
terasa bahwa dengan diberikannya kesempatan pada orang untuk bebas berekspresi,
maka persoalan menjadi semakin rumit. Ternyata kesadaran Paus Yohanes sebelum
konsili, sekarang menjadi kecemasan umum yaitu bahwa ada jurang yang dalam
antara ajaran Gereja dan kebutuhan hidup setiap hari. Pertanyaan sekarang
adalah apa artinya semua doa dan kesucian bagi kebutuhan orang yang berjuang
dalam kesulitan hidup setiap hari?
§
Persoalan
akan semakin besar ketika dilihat dari sudup pandang pembangunan masyarakat. Gaudium et spes (GS) berbicara mengenai
kesatuan Gereja dan dunia. Namun, bagaimana kesatuan itu? Segala pembicaraan
Gereja mengenai kewajiban orang terhadap Tuhan dan sesama memberi kesan yang
bisa dikatakan ‘kurang‘ tepat. Sebagai contoh, orang mungkin akan berpendapat
seperti ini : Lebih baik meminta maaf dengan tulus pada orang yang kita anggap
salah, dari pada masuk kamar pengakuan dan menceritakan semua persoalan pada
Imam, yang nota bene tidak ada hubungan dengan pribadi saya sendiri. Atau lain
lagi mengatakan : Air lebih penting bagi kehidupan saya khususnya bagi sawah,
dari pada air digunakan untuk permandian. Memang kedua contoh ini terlihat
sangat ‘ekstrem’. Tetapi inilah
realita yang terjadi sekarang. Banyak yang akan bertanya apa artinya iman bagi
hidup kongkret setiap harinya.
1. Iman adalah Sikap Hidup
Tepat sekali apa yang dikatakan bahwa
pertama-tama, Iman merupakan suatu sikap batin kepada Allah. Namun kemudian
iman haruslah menjadi sikap hidup orang Kristiani. Iman tidak saja berarti
sikap batin terhadap rahmat Allah tetapi lebih dari itu, iman merupakan sikap
hidup seseorang akan Allah. Hal ini sudah terdapat dalam Kitab Suci khususnya
dalam Injil dan tulisan rasul Paulus. “Berdasarkan
kepercayaan, kita hidup dalam perdamaian dengan Allah” (Rm. 5:1) atau “Barang siapa percaya akan Putera,
akanmempunyai hidup abadi”. (Yoh. 3:36).
2. Iman itu Dinamis, Bukan Statis seperti Sebuah Teori
Selain itu, iman juga dinamis. Iman akan
terus berkembang sesuai sikap hati kita. Iman tidak saja mengenai sikap hati
kita terhadap Allah, tetapi mengenai rencana Allah dengan manusia. Allah
mendatangi kita, karena kita dan karena keselamatan kita. Iman mempunyai arti
eksistensial. Iman berarti kepastian hidup yang dinamis sesuai kebutuhan,
pengalaman dan perkembangan batin seseorang dan bukan sebagai suatu teori yang
statis. Israel percaya akan Yahwe berdasarkan seluruh sejarah keselamatan yang
dialami. Ajaran tentang iman yang bukan saja sebagai sikap terhadap Allah telah
dikemukakan oleh konsili di Trente. Dasar iman adalah kesetiaan dan kebaikan
Allah yang telah dialami dalam pengalaman konkret setiap hari. Penyerahan
kepada Allah, bukan berati melepaskan diri, melainkan merupakan hubungan
pribadi sebagai jawaban atas kebaikan Allah. Penyerahan diri kepada Allah
adalah pertemuan kongkret dengan Allah.
3. Gereja dan Iman saling Mengisi
Disatu pihak, Gereja adalah sumber iman. Dengan
penyaksiannya, dengan sakramen-sakramen, dengan ajaran dan doa-doanya, ternyata
Gereja telah membangkitkan iman dalam hati kita semua. Namun di lain pihak,
tepat juga bahwa Gereja sebenarnya hidup dan bertahan dari iman, yang
mempersatukan kita dalam Allah. “Satu tubuh dan satu roh” sebagaimana mempunyai
satu harapan pula, satu Tuhan, satu kepercayaan, satu permaindian, satu Allah
(Ef. 4:4-5). Jelaslah bahwa tanpa iman Gereja tidak akan bertahan kokoh.
Kesadaran bahwa pada prinsipnya kita semua bersatu
dalam Iman harus menghilangkan segala kekhawatiran tentang perkembangan iman
dewasa ini dalam Gereja dan segala rasa curiga terhadap ungkapan iman zaman
dahulu. Rasa gelisah dan takut, entah terhadap rumusan dogma yang tetap maupun
terhadap ungkapan iman yang nampaknya terlalu kabur, memperlihatkan adanya kesadaran
iman yang kurang matang. “Ketakutan tidak
terdapat dalam cinta kasih” (1 Yoh. 4:18). Iman hanya dapat berkembang atas
dasar kesatuan seluruh umat dalam kepercayaan akan Allah. Kalau orang mulai
menjauhkan diri dari Allah, itu bukan suatu pengungkapan iman. Sebaliknya,
kalau semua orang sadar bahwa kepastian hidup tidak diperoleh dari
rumusan-rumusan iman yang mempunyai kepastian dalam Allah sendiri, maka segala
rumusan iman yang lama tidak akan diabaikan begitu saja dan juga tidak akan
dipertahankan mati-matian, tetapi akan dicari ungkapan iman yang seimbang
danyang lebih sesuai dengan penghayatan orang zaman sekarang.
Harus kita akui bahwa sekarang ini kita sedang hidup
dalam masa
ujian; kita sedang berada dalam
situasi yang berat. Hal ini wajar
dan tidak mengkhawatirkan. Asalkan kita mau menghayati iman dalam Gereja dan
harus bisa saling mengisi satu sama lain, maka zaman ini pasti akan berarti
‘peremajaan iman’. Iman, pertama-tama adalah suatu pengalaman pertemuan dengan
Allah. Dan pengalaman itu harus dihayati dalam kebersamaan umat Allah dengan
sikap saling menghormati dan mencintai. “Inilah
perintah Tuhan : Bahwa kita percaya akan nama Putera-Nya Yesus Kristus dan
bahwa kita saling mengasihi. (1 yoh. 3:23). Dengan demikian jelaslah bahwa
pertanyaan modern mengenai iman sebenarnya tidak berbunyi demikian : apakah
iman itu? Tetapi pertanyaan sesungguhnya adalah “Dimanakah Allah???”. Maka yang disebut ‘krisis’ iman sebenarnya
tidak lain adalah usaha manusia zaman sekarang untuk mencari Allah dengan jujur dan
terbuka dalam keberlangsungan hidup setiap hari. Karena itu, saya
mengajak kita semua untuk kembali merefleksikan, sudah sejauh mana kita
menjalani hidup keberimana kita, dengan melihat sepenggal lirik lagu Tantum
ergo : Iman yang menolong budi, indra tak
mencukupi. Bahwa dengan iman akal budi kita mempunyai dasar yang kuat dan
benar. Sungguh, akal budi kita sangat terbatas untuk menyelami seluruh realitas
alam semesta, terlebih realitas adikodrati yaitu Allah sendiri. Akal budi kita
hanya sedikit menyentuh realitas Allah. Dalam Allah, kita hanya bisa mendekati
kebenaran. Dan untuk itu diperlukanlah iman yang teguh. Jangan pernah merasa kalau
situasi ini membuat iman kita goyah. Percayalah, kita akan melewatinya dengan
sukacita, karena Kristus Telah Bangkit!
Salve!
Komentar