‘Cipta Makna, Bentuk Pengetahuan’ (Teori Konstruktivisme Jean Piaget Dalam KBM)
Eduardus Johanes Sahagun
Magister
Psikologi Universitas Gadjah Mada
(17/422287/PPS/03490)
Abstrak
Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) dalam perspektif pendidikan itu sangat dinamis. Setiap
perkembangan pendekatan pendidikan tidak terlepas dari perspektif pendekatan
sebelumnya. Bahkan pendekatan yang baru merupakan kombinasi dan akumulasi
berbagai pandangan sebelumnya. Pendekatan yang lahir kemudian juga seringkali
merupakan reaksi (koreksi) terhadap perspektif sebelumnya. Seorang guru dalam
pembelajaran konstruktivisme dituntut dapat berlaku sebagai fasilitator bagi
siswanya. Guru tidak langsung dapat memberikan pengetahun kepada siswa, tetapi
ia harus memfasilitasi, mengarahkan siswa sehingga siswa yang berlaku aktif
membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Pembentukan pengetahuan
menurut teori konstruktivistik ini memandang subyek sebagai pelaku aktif yang
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Inti
dari teori konstruktivisme, dalam proses pembelajaran, pembelajar yang harus
mendapatkan porsi terbesar.
Konstruktivisme
dalam kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari usaha Jean Peaget. Sebagai
seorang Psikolog sekaligus Filsuf, Piaget menekankan pentingnya lingkungan
sosial dalam belajar. Baginya, integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan
dapat meningkatkan perubahan secara konseptual. Secara garis besar, proses
adaptasi dengan lingkungan oleh Peaget dikelornpokkan menjadi proses asimilasi
dan akomodasi. Pendekatan kepada pengajaran efektif dalam rangka mengkreasikan
sebuah lingkungan belajar di ruang kelas mendukung pembentukan keragaman dan
kreatifitas pada proses pemecahan masalah pada siswa dan kembali secara
eksklusif rnenitikberatkan pada jawaban yang benar secara matematika. Tulisan
ini akan menjelaskan konsep teori konstruktivisme dari sudut pandang filsafat
dan psikologi yang kemudian dikaji dalam setting kegiatan pembelajaran di
kelas.
Kata Kunci : Konstruktivisme, Kegiatan Pembelajaran
I.
Awal Kata
PENGETAHUAN itu adalah proses KONSTRUKSI |
Dewasa ini, peranan pendidik dalam
menyampaikan pengajaran yang bermakna kepada anak didiknya sangat dipengaruhi
oleh teori pembelajaran yang menjadi asas pegangannya. Seorang pendidik akan
menggunakan kaedah pengajaran yang paling efisien demi menjamin berlakunya
pembelajaran di kalangan murid-muridnya. Secara umunya, pengajaran ialah
penyampaian maklumat dalam seting pendidikan, misalnya sekolah rendah, sekolah
menengah dan institusi pengajian tinggi. Selain itu, pembelajaran juga
merupakan perbuatan atau pengalaman seorang pembelajar yang diperoleh melalui
pendidikan. Namun dalam konteks pendidikan, pembelajaran mengandung maksud
perubahan tingkah laku seseorang akibat ilmu, kemahiran atau amalan yang
diperoleh melalui proses pendidikan. Teori belajar konstruktivisme mulai
berkembang pada abad XIX. Teori tersebut lebih mementingkan proses dari pada
hasil. Proses pembelajaran tidak hanya melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon, tetapi lebih banyak melibatkan proses berfikir. Menurut teori ini ilmu pengetahuan
dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-pisah tetapi melalui
proses yang berkesinambungan dan menyeluruh. Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru
tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus
aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka.
Tidak
ada guru yang menginginkan
kondisi pembelajaran yang kacau
dengan hasil yang buruk. Setiap guru
pasti akan mempersiapkan strategi pembelajaran yang matang dan tepat, karena memang setiap guru merasakan dan menyadari bahwa tugasnya sebagai pendidik dan pengajar adalah tugas mulia, penuh dengan amal kebajikan sehingga setiap ucapan dan perilakunya akan diteladani oleh seluruh siswanya. Strategi pembelajaran
mempunyai suatu garis besar tindakan dalam usaha mencapai hasil yang telah
ditentukan.[1] Tokoh yang berperan pada teori dan konsep ini adalah Jean Piaget.
II.
Filsafat Konstruktivisme – Selayang Pandang
Filsafat
pengetahuan, adalah bagian daam filsafat yang mempertanyakan persoalan
pengetahuan dan juga bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Pertanyaan umum
dari filsafat pengetahuan adalah (1)Apa itu pengetahuan, (2) Bagaimana kita
dapat memperoleh pengetahuan, dan (3) Bagaimana kita dapat mengetahui
sesuatu. Filsafat pengetahuan juga
bertanya tentang hakekat pengertian dengan bertanya “Apakah kebenaran itu?”. Salah satu aliran dalam filsafat
pengetahuan yang banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan sains dan
matematika adalah Filsafat
Konstruktivisme.
Konstruktivisme
adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan banhwa
pengetahuan kita adalah konstruksi atau buatan kita sendiri[2].
Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas) yang ada tetapi
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan dari kegiatan
seseorang. Para konstruktivis yakin bahwa penetahuan itu ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui
interaksi dengan realitas, objek, fenomena dan pengalaman mereka sendiri.
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta suatu makna dari apa yang dipelajari. Sangat berbeda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar
sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi
makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan
kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.[3]
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pengetahuan
manusia dianggap benar apabila pengetahuan itu berkembang atau berjalan terus
dan dapat dipakai untuk memecahkan persoalan yang sesuai. Memang
konstruktivisme hampir mirip dengan pragmatism. Namun tetap ada perbedaan yang
mendasar. Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu
saja dari seseorang kepada orang lain, tettapi harus diinterpretasikan sendiri
oleh masing-masing orang. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang telah jadi
melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam prose situ, keaktifan
seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa
faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur
kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut.
Sebaliknya, situasi konflik atau anomaly yang membuat orang dipaksa untuk
berpikir lebih mendalam akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Bagi
konstruktivisme pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia yang berkembang
terus- menerus.
III.
Teori Konstruktivisme
Menurut Jean Piaget
Jean
Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam
proses atau Kegiatan Belajar dan Mengajar. Ia menjelaskan bagaimana proses
pengetahuan seseorang dalam teori perkembangan intelektual yang dikenal dengan
istilah Teori Adaptasi Kognitif.
Teori piaget ini dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Di mana, Ia
mengamati kehidupan keong yaag setiap kali harus beradaptasi dengan
lingkungannya. Dari pengamatan itu, Piaget berpendapat bahwa setip makhluk
hidup perlu beradaptasi dengan lingkungan fisik disekitarnya agar bisa tetap
hidup. Bagi Piaget, pikiran dan tubuh mendapat aturan main yang sama. Maka bagi
Piaget perkembangan pikiran manusia juga sama dengan perkembangan biologis
yaitu perlu beradaptasi dan mengorgganisasi lingkungan sekitar. Karena itu,
teori adaptasi kognitif ala Piaget seperti orgenisme yang beradaptasi ke dalam
lingkungannya.
Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa penekanan teori
kontruktivisme terletak pada proses
untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan[4].
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme Piaget adalah
sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak yang lebih mutakhir
dari kalangan konstruktivistik, yang dikembangkan dari teori belajar kognitif
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan Asimilasi dan Akomodasi sesuai dengan Skema yang
dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, Akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan baru itu[5].
Lebih
jauh, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan
kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri
merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan
keadaan keseimbangan.
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak, dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah
siswa harus memiliki ketrampilan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi
secara tepat. Dalam sudut pandang/perspektif konstruktivis personal disoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk
skema berupa jalinan konsep
yang ada dalam pikiran, mengembangkan skema, dan mengubah skema. Ia lebih menekankan bagaimana individu
sendiri mengkonstruksi pengetahuan
hasil dari berinteraksi dengan pengalaman dan obyek yang dihadapi, dan bagaimana seorang anak
mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk
pengetahuan[6]. Menjadikan siswa yang terampil dalam memecahkan masalah bukan hanya menjadikan mereka terampil berpikir matematika, namun juga melatih mereka menghadapi tantangan hidup dengan percaya diri melalui kemampuan menyelesaikan masalah. Kemampuan dan keterampilan berpikir yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah matematika supaya dapat dialihkan pada bidang lain dalam kehidupan.
IV.
Implikasi Teori Konstruktivisme Dalam Kegiatan Pembelajaran
Sadar
atau tidak, prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam
pendidikan kita saat ini. Secara umum, prinsip-prinsip itu berperan sebagai
referensi dan alat refleksi trehadap praktek, pembaharuan dan rencana-rencana
pendidikan dewasa ini, khususnya di Negara kita. ada beberapa prinsip yang
sering diambil dari konstruktivisme dalam proses Belajar Mengajar antara lain :
§ Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri yang
aktif
§ Tekanan dalam proses belajar terletak pada
siswa itu sendiri
§ Mengajar adalah membantu siswa untuk belajar
§ Yang paling ditekankan adalah proses belajar dan bukan hasiil belajar
§ Kurikulum menekankan banyak partisipasi siswa
§ Peran guru hanya sebagai fasilitator
Prinsip
umum di atas, membawa implikasi yang jelas dalam proses belajar mengajar,
khususnya dalam diri pendidik dan peserta didik. Berkaitan dengan peserta didik
dan lingkungan belajarnya, menurut pandangan konstruktivisme, Tytler (Hamzah
2001:6) mengajukan karakteristik sebagai berikut : Pertama, siswa tidak dipandang sebagai individu yang pasif
melainkan memiliki tujuan, Kedua,
belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, Ketiga, pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, Keempat, pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan
melibatkan pengaturan situasi kelas, Kelima,
kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi, dan sumber. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema
sehingga pengetahuan menjadi saling terkait satu-sama lainnya bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis. Dari pengertian ini,
dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara
interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau
lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai “botol-botol kecil” yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler, mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut : Pertama,
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri, Kedua, memberi kesempatan
kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih
kreatif dan imajinatif, Ketiga, memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, Keempat, memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang
telah dimiliki siswa, Kelima,
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan Keenam, menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada
teori kontruktivisme adalah top-down processing (awal belajar siswa
dimulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan
ketrampilan yang dibutuhkan, cooperative learning (strategi yang
digunakan untuk proses belajar, agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem
yang dihadapi dan generative learning (strategi yang menekankan pada
integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan
skemata. Melalui proses yang bermakna ini, maka seorang anak (siswa) akan
tumbuh menjadi seorang individu yang lebih sempurna, unggul dan cerdas.
V.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori konstruktivisme lebih
berfokus pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman. Atau dengan
kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksikan sendiri
pengetahuannya yang dia peroleh lewat pengalaman empiris mereka sendiri. Teori
belajar konstruktivisme beranjak dari psikolog sekaligus filsuf Jean Piaget
yang memandang kegiatan belajar sebagai proses membentuk atau mengatur sendiri
(self reglation) yang dilakukan siswa
dalam mengatasi konflik kognitif. Piaget dan para konstruktivis lainnya mengemukakan
bahwa, dalam mengajar, seharusnya diperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh
siswa sebelumnya. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri
pengetahuannya melalui keterlibatan dalam proses belajar mengajar itu sendiri.
Menurut Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan, yakni pengetahuan fisik,
pengetahuan logika dan pengetahuan sosial. Menurut teori belajar
konstruktivisme, pengetahuan fisik dan pengetahuan logika dibangun sendiri oleh
siswa melalui pengalaman, di mana terjadi interaksi antara struktur kognisi
(pengetahuan) awal yang sudah dimilikinya dengan informasi baru yang diperoleh
dari lingkungan di luar dirinya. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep atau kaidah yang sudah siap untuk diambil atau diingat, melainkan individu
harus mengkonstruksi pengetahuan awal itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Teori konstruktivisme dapat menjadi
kekuatan dalam membantu guru untuk kmempelajari cara atau model atau metode
pembelajaran yang efektif, terutama dalam mengembangkan strategi belajar pada
siswa secara tepat. Demi tercapainya pembelajaran yang konstruktivis secara
optimal, disarankan kepada para pendidik untuk dapat memfasilitasi baik sarana
prasarana maupun alokasi waktu sehingga pelaksanaan dan pencapaian hasilnya
bisa meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Herman, T.
(2006). Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Disertasi pada Program
Pascasarjana UPI Bandung.
Hamzah, (2003). Pembelajaran
Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 9 No.40, hal. 61–75.
Mohammad Dadan Sundawan, (2016). Perbedaan
Model Pembelajaran Konstruktivisme Dan Model Pembelajaran Langsung.
Jurnal Logika, Vol. XVI. No.1, hal. 17.
Suparno, Paul. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean
Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
____________ (2005). Filsafat Konstruktivisme
Dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.
[1] Hamzah,(2003). Pembelajaran Matematika Menurut
Teori Belajar Konstruktivisme. Jurnal Pendidikan Dan
Kebudayaan, Vol. 9
No.40, Hal. 61–75.
[3] Mohammad Dadan Sundawan,
(2016). Perbedaan Model Pembelajaran Konstruktivisme Dan Model Pembelajaran
Langsung. Jurnal Logika, Vol. XVI. No.1, hal. 17
[6] Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi pada Program Pascasarjana UPI Bandung. Hal. 56
Komentar