Kepatuhan Publik Terhadap PSBB: Compliance, Obedience, atau Conformity?
(Analisis Psikologi Sosial Tentang Perilaku Patuh Masyarakat)
Sungguh sulit menampik fakta bahwa
penyebaran virus corona adalah permasalahan kompleks. Betapa tidak,
penluarannya begitu masif dan sangat cepat. Berbagai informasi sudah kita
ketahui dan sangat nyata bahwa mewabahnya virus ini bukan hal sepele yang hanya
bisa dimaklumi, tetapi merupakan persoalan umum yang patut mendapat perhatian
serius semua kita. Kendati demikian, sekalipun virus ini berbahaya dengan
tingkat penyebaran yang sangat cepat-tak kasat mata, namun kita bisa
mencegahnya. Berbagai upaya sudah dilakukan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk
mencegah penularan virus baru ini. Semua elemen masyarakat diarahkan untuk
bergotong royong membasmi dan memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Derasanya arus informasi dan berita
mengenai penyebaran virus corona, di satu sisi menjadi pengingat yang penting
bagi masyarakat agar selalu mewas diri. Akan tetapi di sisi lain, beragamnya
informasi tersebut bisa menimbulkan kepanikan, ketakutan, kecemasan dan rasa
khawatir berlebihan dalam diri setiap kita akan bahaya virus
tersebut. Melihat fakta saat ini, nampak jelas bahwa pandemi virus corona telah menimbulkan
kepanikan, kecemasan dan ketakutan luar biasa dalam diri sebagian besar orang.
Adalah sebuah tindakan pencegahan yang
baik yakni menjauhi kerumunan atau keramaian, jaga jarak dengan orang sekitar, serta
tetap diam di rumah (tidak bepergian ke tempat jauh/luar daerah). Ditambah
lagi, kini sudah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hemat
saya, jika langkah-langkah ini dilaksanakan dengan kesadaran penuh dari seluruh
masyarakat, nicaya penularan virus corona bisa terputus. Kesadaran untuk
melaksanakan apa yang dihimbau atau diinstruksikan merupakan modal utama dalam
memutus mewabahnya virus ini. Akan tetapi, pada nyatanya, masyarakat kita masih
belum terlalu taat menjalankan anjuran dan himabaun tersebut. Banyak orang yang
masih menganggap sepele dan tidak peduli dengan anjuran Pemerintah. Memang
cukup sulit membuat orang untuk patuh dan taat pada suatu perintah, karena
dipengaruhi oleh mental dan karakter kita yang terlalu ‘masa bodoh’ dengan
apapun. Terlebih orang NTT, dengan label ‘kepala batu’ yang melekat, saya bisa
pastikan bahwa perilaku taat atau kepatuhan terhadap suatu himbauan (instruksi)
masih rendah.
Problem sulit taat atau tidak patuh pada
peraturan dan atau himbauan, bukan sesuatu yang baru dalam realitas sosial
kita. Kalau kita bertanya kepada masyarakat, jawaban mereka sangat biasa, bahwa
ketidak-patuhan mereka selalu beralasan. Memang tidak mudah menghadapi hal ini.
Akan tetapi, kita tak boleh jenuh mengkampanyekan himbauan untuk tidak keluar
rumah, selalu memakai masker, selalu mencuci tangan dan berbagai anjuran
lainnya agar penularan virus mematikan ini tidak semakin besar.
Permasalahan Kepatuhan: Obedience atau Compliance?
Kali ini saya coba soroti persoalan
kepatuhan publik dari sudut pandang psikologi sosial, secara khusus dalam teori
dinamika kelompok dan pengaruh sosial. Kita tahu bahwa sebagai pribadi yang
hidup di tengah masyarakat, dengan tata aturan nilai dan norma sosial yang
berlaku didalamnya, kita memiliki seperangkat aturan untuk dipatuhi sehubungan
dengan diterimanya kita dalam suatu masyarakat. Apabila kita tidak mematuhi
tata aturan tersebut, kita akan dianggap tidak patuh dan menyimpang. Ini semua
terjadi karena adanya pengaruh sosial (sosial
influence), di mana pengaruh sosial tersebut akan mengubah sikap, perilaku,
dan persepsi orang lain. Sekurang-kurangnya ada 3 aspek penting dalam pengaruh
sosial, yaitu: compliance, obedience dan conformity. Teori compliance
dikembangkan oleh Green dan Kreuters (1991), yang menurutnya kepatuhan adalah
ketaatan melakukan suatu yang dianjurkan atau respon yang diberikan terhadap
sesuatu diluar subyek. Sementara itu, teori obedience
dikembangkan oleh Stanley Milgram dalam serangkaian eksperimennya pada tahun
1963. Milgram menyatakan bahwa kunci untuk patuh atau tidak bergantung pada
figur otoritas. Seseorang yang tidak mematuhi aturan akan dianggap tidak
memiliki sikap kepatuhan. Beberapa contoh ketidakpatuhan diantaranya adalah
pelanggaran tata tertib sekolah, pelanggaran lalu lintas, Pelanggaran pajak,
tidak mengikuti anjuran atau instruksi Pemerintah dll.
Bila diterjemahkan ke dalam kata bahasa
Indonesia, baik obedience maupun compliance memiliki arti yang sama yaitu
kepatuhan. Namun sebenarnya jika dimaknai secara lebih detail, obedience dan compliance memiliki arti yang berbeda. Dalam pemahaman sederhana, compliance berarti melakukan sesuatu
yang dianjurkan atau respon yang diberikan terhadap situasi dari luar subyek. J.A
Mayers (2008), memberikan arti compliance
sebagai suatu kesepakatan yang dibuat oleh seseorang tanpa adanya beban atau
paksaan, sehingga dapat dilakukan secara tulus, tanpa merasa terbebani. Hal ini
juga didukung oleh Robert Cialdini (2007).yang mengatakan
bahwa compliance merupakan suatu
bentuk pengaruh sosial, dan berfokus pada kemauan seseorang untuk mengikuti,
serta melakukan permintaan seseorang dengan tidak terpaksa atau ikhlas. Dari
sini, dapat disimpulkan bahwa compliance
merupakan tindakan seseorang yang bersedia melakukan suatu hal karena dia menyetujui
sebuah permintaan dan bukan karena perintah atau paksaan dari atasan. Semisal,
seorang tenaga medis (perawat), akhirnya menggunakan APD secara lengkap setelah
menyetujui dan sadar bahwa APD itu akan melindunginya dari penyebaran virus.
Sementara itu, obedience menurut Stanley Milgram adalah suatu bentuk prilaku
dimana seseorang mematuhi perintah langsung dari pimpinan. Obedience menjadikan seseorang melakukan perubahan sikap dan
tingkah lakunya untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain tanpa
membutuhkan persetujuan dari orang tersebut. Obedience dikatakan terjadi jika seseorang mengikuti perintah
atasannya tanpa mempertanyakan untuk apa perintah tersebut. Contoh kecil dari obedience, lebih banyak terjadi pada
dunia anak-anak, yakni jika seorang anak diperintahkan oleh orangtuanya untuk
menuruti kata-kata orang tuanya, atau menghargai orang lain yang lebih tua
darinya, atau di lingkungan sekolah misalnya, di mana seorang murid dituntut
untuk menuruti perintah gurunya selama di sekolah. Contoh sederhana dalam
situasi saat ini adalah demikian; Keluarga pasien akan menggunakan masker jika
ada tenaga medis yang meminta atau mengontrolnya. Artinya, ia akan taat dan
patuh karena ada orang lain, dan bukan dari kesadarannya sendiri. Untuk lebih
memahaminya, berikut disajikan perbedaan kedua konsep tersebut dalam tabel:
PERBANDINGAN
|
|
Compliance
|
Obedience
|
Memberikan
alternatif atau pilihan bebas pada subyek
|
Tidak ada
alternatif atau pilihan bebas untuk subyek
|
Tidak ada
konsekuensi yang memaksa
|
Paksaan dengan
kekuasaan dimungkinkan melalui beragam hukuman
|
Memungkinkan adanya
perlawanan atau penolakan
|
Perlawanan atau
penolakan ditekan dengan menggunakan ancaman atau kecaman terang-terangan
|
Dipengaruhi oleh
kekuatan kelompok.
|
Dipengaruhi oleh
kekuatan personal
|
Terdapat
kesepakatan.
|
Tidak terdapat
kesepakatan
|
Berdasarkan dua pemahaman tentang compliance dan obedience yang menjelaskan definisi kepatuhan tadi, maka dapat
disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang
karena adanya stimulus tertentu. Stimulus yang menyebabkan kepatuhan tersebut
dapat berupa permintaan, peraturan, perintah, maupun paksaan yang akhirnya
menimbulkan tindakan patuh untuk mengikuti stimulus. Kepatuhan sebagai perilaku
positif dinilai merupakan sebuah pilihan. Artinya individu memilih untuk
melakukan, mematuhi, merespon secara kritis suatu aturan, himbauan, hukum,
norma sosial, permintaan, maupun keinginan dari orang lain yang memegang
otoritas ataupun peran penting (Morselli dan Passini, 2012). Bertolak dari
sini, kita sudah bisa menemukan bahwa bentuk kepatuhan masyarakat saat ini
(khususnya orang NTT) dalam menghadapi pandemi Covid-19, sedikit banyak
mengarah ke konsep obedience. Alasan
sederhananya karena pada dasarnya, masyarakat kita akan lebih taat kalau
diawasi atau adanya ‘power’ yang
berkuasa dan memaksa. Memang, tidak semua yang seperti itu, masih ada banyak
orang lain yang memang melaksanakan perilaku patuh berdasarkan konsep compliance.
Konformnitas (conformity): Pengaruh Sosial yang
(mungkin) Diperlukan
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa salah
satu bentuk pengaruh sosial selain compliance
dan obedience adalah conformity (konformnitas). Secara sadar
maupun tidak, kita biasanya cenderung untuk mengikuti aturan atau himbauan yang
terdapat di lingkungan sosial; seperti ketika memilih menggunakan masker kain
yang dijahit sendiri, saat keluar rumah yang sama dengan orang lain dalam
lingkungannya karena mengikuti himbauan Pemerintah untuk ber-masker; padahal
orang tersebut bisa saja tidak memilih menggunakan masker kain, yang sama
dengan orang lain jika ia mau, tetapi ia memilih untuk mengenakan masker kain
yang sama dengan orang disekitarnya agar sesuai dengan prilaku kebanyakan orang.
Hal inilah yang dikenl dengan konformitas (conformity).
Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh
sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan
norma sosial atau kebiasaan yang terjadi (Baron & Byrne, 1994). Ketika
seseorang ada dalam suatu kelompok sosial, pasti ia akan mengikuti norma sosial
yang ada di dalam kelompok tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya supaya bisa diterima dan dianggap tidak
menyimpang. Pada dasarnya tingkat konformitas pada seseorang akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kepercayaan pada kebenaran suatu kelompok di mana
ia melakukan konformitas. Keyakinan kepada kelompok harus diimbangi dengan
keyakinan diri sendiri. Bila konformitas terjadi karena adanya pengaruh
informasi yang menimbulkan keyakinan bahwa yang dilakukan anggota kelompok
adalah benar, maka individu biasanya akan mengubah cara berfikir dan
berperilaku yang mereka miliki.
Pengaruh informasi karenanya dapat
dilihat sebagai proses rasional yang menyebabkan perilaku orang lain bisa
mengubah keyakinan atau interprestasi kita atas suatu situasi, dan
konsekuensinya membuat kita bertindak sesuai dengan kelompok itu. Dari
pemahaman ini, bisa saya katakan bahwa, konformnitas (mungkin) dapat dijadikan
contoh dari bentuk patuh terhadap himbauan Pemerintah agar masyarakat bisa
mengikuti PSBB. Supaya masyarakat kita tidak saja ‘taat buta’ atau melakukan
sesuatu karena terpaksa dan tidak memahami apa maksud dibalik anjuran itu, maka
konformnitas dalam dinamika kelompok sosial bisa dijadikan rujukan kepada
Pemerintah agar pemberlakuan PSBB bisa efektif dan efisien. Ketika suatu
kelompok masyarkat benar-benar disadarkan untuk menjalankan anjuran Pemerintah
(misalnya, hal menggunakan masker ketika keluar rumah/menghindari keramaian dan
jaga jarak) maka sudah pasti, salah satu warga yang tinggal di dalam kelompok
masyarakat tersebut, yang awalnya tidak patuh, lambat laun akan mengikuti
kebiasaan yang dilakukan kelompok masyarakat lain dilingkungan sosialnya. Ini
bisa terjadi karena adanya pengaruh kelompok masyarakat yang lebih besar.
Intinya, kekompakan dan kebersamaan harus ditingkatkan dalam satu kelompok
besar, sehingga segelintir orang yang masih belum patuh, bisa tergerak dan
termotivasi untuk merubah pola pikir dan perilaku, dan dapat mengikuti
kebiasaan umum yang ada, khususnya berbagai anjuran pemerintah seperti; tetap
tinggal di rumah, hindari keramaian dan menjaga jarak fisik, termasuk
didalamnya pelaksanaan PSBB.
Alumnus Magister Psikologi UGM
Sumber Bacaan :
Baron,
R.A. dan Byrne, D, 1994. Social
Psychology; Understanding Human
Interaction. Allyn & Bacon, Inc, Boston
Cialdini, R. B. (2007). Psikologi
Persuasif Merekayasa Kepatuhan. Jakarta: Prenada Media Group.
Milgram, S. (1963). Behavioral
Study of Obedience. The Journal of abnormal and social psychology, 67(4),
371.
Morselli,
D., & Passini, S. (2012). Rights,
democracy and values: A comparison between the representations of obedience and
disobedience in Italian and Finnish students. International Journal of
Intercultural Relations. 36, 682- 693. DOI: 10.116/j.ijintrel.2012.03.008
Myers, J. A. (2015). Obedience
across Romans: tracing a book wide theme and illustrating obedience with
Greco-Roman literature.
Papalia,
D. E., & Feldman, R. D. (2012). Experience
Human Development (12th ed). New York, NY: McGrawHill.
Komentar
Explore an array of Casino Games หารายได้เสริม near Bryson City NC. Casino 계룡 출장안마 at Bryson City 영천 출장안마 NC - Complete Your Casino Gambling 포항 출장마사지 Casino at Bally's Casino 군포 출장마사지 in Bryson City