Self-Directed Learning Siswa Ketika Belajar di Rumah


Wardy Kedy'

Pandemi Covid-19 telah merasuki semua aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Masifnya perkembangan wabah Covid-19 ini telah mengacaukan semua rencana besar sehingga mau tidak mau kita hanya bisa berusaha meminimalisir perkembangannya dengan menjaga kesehatan fisik dan psikis. Beragam upaya sudah dilakukan Pemerintah, baik di tingkat Pusat, maupun di Daerah untuk mencegah penularan. Salah satu yang kini sedang dilakukan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam dunia pendidikan, Mendikbud sendiri telah mengeluarkan kebijakan melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaann Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19) yang dikeluarkan pada 24 Maret lalu. Sejumlah daerah juga telah memperpanjang masa Pembelajaran Jarak Jauh sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia, begitupun Provinsi NTT, memperpanjang proses belajar di rumah dari tanggal 21 April sampai dengan tanggal 30 Mei 2020. Dengan demikian, masa pembelajaran jarak jauh (belajar dari/di rumah) juga terus berjalan.
Kalau kita melihat, ternyata efektivitas pembelajaran di rumah (home learning) yang diberlakukan saat ini terasa masih kurang. Banyak orang tua dan anaknya (siswa) merasa terbebani, karena ternyata bukan ‘pembelajaran’ yang terbangun, melainkan tumpukan banyak tugas yang datang dari tiap mata pelajaran setiap harinya. Kalau dikaji lebih jauh, dapat dilihat bahwa hampir semua guru, akan selalu memberikan tugas kepada siswa, yang dikirim melalui media sosial atau email, kemudian meminta mereka mengerjakannya, lalu hasilnya dikirim kembali untuk diperiksa. Tujuannya memang mulia, yakni agar anak (siswa) tidak berkeliaran atau melakukan hal lain. Tapi pertanyaan sekarang adalah, securiga itukah kita (guru) terhadap aktivitas anak didik? Kalau demikian, bisa dikata bahwa model home learning seperti itu tidak jauh berbeda dengan metode pembelajaran yang bercirikan konsep one way information, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan (teacher centered learning). Kalau demikian, pembelajaran yang dilakukan guru hanya instruksi, bukan konstruksi atau rekonstruksi pengetahuan, bahkan tidak memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan arah mana siswa ingin bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kemandirian belajar dalam diri siswa.
Bagi saya, esensi belajar di rumah dengan metode daring (online learning) adalah guru berinteraksi dengan siswa seperti hari-hari biasa, sedangkan yang membedakannya adalah, interaksi mereka dilakukan secara virtual, sehingga semestinya tetap ada suasana diskusi, dialog, tanya jawab, kuis, dan sebagainya seperti di ruang kelas. Bahkan guru tetap bisa menjelaskan materi pelajaran secara daring, misalnya via aplikasi zoom, google meet, live instagram, live FB, skype, dan ragam aplikasi penunjang lainnya. Guru jangan hanya memberi tugas-tugas yang bertumpuk setiap hari di tiap mata pelajaran. Lalu siswa dipantau, hadir atau tidak. Pembelajaran seperti inilah yang menjadi beban bagi siswa dan orang tua. Karena itu, dibutuhkan kreativitas guru dalam mengelola media berbasis teknologi informasi, termasuk media sosial.
Walau demikian, sebelum semua itu dilakukan, hal dasar yang harus diperhatikan adalah membangun kesadaran siswa supaya tetap semangat dalam belajar. Membangun kesadaran siswa merupakan alternatif untuk memaksimalkan pembelajaran para peserta didik, karena kesadaran merupakan modal pertama bagi peserta didik dalam memperoleh pengetahuan. Kesadaran itu mengacu pada kemampuan untuk menjadi sadar pada diri sendiri dan menciptakan arti pada pengalamannya. Kesadaran juga bisa dianggap sebagai sense of identity, khususnya pada sikap yang kompleks, keyakinan dan sensitifitas yang dipegang oleh masing-masing siswa. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh siswa dalam belajar maka mereka bisa melaksanakan self-directing learning selama berada di rumah.
Model pembelajaran self-directing learning (SDL) merupakan salah satu model yang dilakukan oleh siswa untuk dirinya sendiri dan bahwa hasil belajar yang maksimal diperoleh apabila siswa bekerja menurut kecepatannya sendiri, terlibat aktif dalam melaksanakan berbagai tugas belajar khusus, dan mengalami keberhasilan dalam belajar. Meminjam konsep Sunarto (dalam Beratha, 2009) bahwa SDL dapat diartikan sebagai usaha individu (siswa) untuk melakukan kegiatan belajar secara sendiri maupun dengan bantuan orang lain, berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi atau kompetensi tertentu, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan kata lain, self directed learning diinterpretasikan sama dengan independent learning. Siswa yang memiliki self directed learning yang tinggi, akan membuat dia dapat secara mandiri menambah pengetahuan dan wawasannya, melengkapi pengetahuannya, memperbarui pengetahuannya, dan mengadaptasi pengetahuannya sesuai dengan tuntutan kehidupan dan persoalan yang ada saat ini. Metode SDL ini dapat menyadarkan dan memberdayakan siswa, bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri, dan proses belajar berpusat pada siswa (student centered). Hal ini akan membuat siswa menjadi lebih aktif, termotivasi, kreatif dan yang terpenting siswa akan lebih mandiri dalam mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya.
Menurut Gibbons (2002) aktivitas dan program SDL didasarkan pada beberapa aspek dasar, yaitu: siswa mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi, siswa mengembangkan keahlian, mengubah diri pada kinerja atau performansi yang paling baik, manajemen diri siswa, serta motivasi dan penilaian diri. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, siswa memegang peran dan kendali dalam pembelajaran. Walaupun demikian, bukan berarti guru tidak memiliki andil dalam pembelajaran. Dalam konteks SDL ini, guru mempunyai peran sebagai ‘konsultan’ yang memberdayakan kemampuan belajar siswa dan membantu mereka dalam mengidentifikasi dan mengenali cakupan pilihan yang ada. Di sinilah kreatifitas guru sangat dibutuhkan dalam pembelajaran, agar siswanya bisa menjadi pebelajar yang mandiri.
Pembelajaran sejati adalah yang mampu merubah cara berpikir siswa tentang dunia, dan kompleksitasnya, serta mampu mengembangkan apa yang mereka ketahui. Apabila dikaitan dengan persoalan saat ini, di mana home learning diberlakukan, maka kesadaran siswa dan self-directing learning adalah hal urgen yang bisa menyokong tumbuhnya kreativitas peserta didik dalam belajar. Hemat saya, ini adalah cara yang konsisten dan cukup bijak, asalkan disesuaikan dan didukung dengan sarana prasarana yang memadai. Karena itu, pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam memfasilitasi berkembangnya kesadaran dan self directed learning peserta didik ketika sedang berada di rumah. Dalam paradigma pembelajaran, pendidik sebagai fasilitator dan sumber belajar, tidak hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi juga harus berusaha meningkatkan kesedaran dan self directed learning peserta didik. Upaya meningkatkan kesadaran dan self directed learning siswa dapat dilakukan melalui penciptaan kondisi pembelajaran yang menyenangkan, yang memberi kebebasan pada peserta didik untuk bertanya, berpikir, dan berpendapat dan berkreasi secara mandiri.


Alumni Magister Psikologi UGM

Komentar

Postingan Populer