Physical Distance, Yes! Emotional Distance, No!
Dalam masa sulit ditengah amukan wabah
ini, kita tahu bahwa Pemerintah telah berusaha menghimbau kepada seluruh
masyarakat agar tetap diam di rumah, hindari keramaian, memakai masker, sering
mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain atau yang familiar
dikenal dengan physical distance. Kita tentu memahami pengertian
dari physical distance, yakni menjaga jarak fisik dengan meminimalkan kontak langsung
dengan sesama dalam jarak tertentu. Sekarang, diberlakukanlah kebijakan lain
dari Pemerintah yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), di mana
kebijakan PSBB ini adalah kebijakan yang sedikit lebih ‘lunak’ dari lock down yang terjadi di beberapa
Negara terdampak.
Walau demikian, baik itu physical distance maupun PSBB, pada nyatanya membuat banyak orang harus
beraktivitas tak sebagaimana biasa. Akibat ‘dirumahkan’ banyak masyarakat mulai
merasa penat. Kepenatan itu membuat orang mulai merasa cemas dan takut akan kebutuhan
hidup sehari-hari. Ketika rasa cemas atau gelisah itu semakin besar, dan
ditambah lagi dengan berbagai informasi tentang covid-19 yang begitu banyak dan
simpang siur, maka pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang menjadi terganggu.
Dari sini, muncul rasa curiga terhadap orang lain yang tak terbendungi karena
mereka melihat orang lain sebagai pesaing, dan sebagai orang yang menakutkan
dan membahayakan. Inilah yang menyebabkan menjamurnya stigma negatif masyarakat
kepada para pasien yang positif corona beserta keluarga, para tenaga kesehatan,
para ODP atau pun PDP. Keluarga pasien, dan tenaga kesehatan, bahkan dijauhi
dan dianggap sebagai carrier atau ‘penyebar’ virus. Akibatnya, segala
aktivitas mereka terhambat, karena harus menghindari kontak langsung dengan
orang lain, dan mengisolasi diri.
Kompleksitas
Problem Physical Distance
Coba kita persandingkan himbauan untuk physical distance dan PSBB dengan pemahaman
tentang orang berkepribadian ekstrovert, introvert dan ambivert. Dalam arti
sempit, kepribadian ektrovert adalah pribadi yang lebih suka berada bersama
orang lain, dan menyukai keramaian di dunia luar. Kebalikannya, orang dengan
pribadi introvert lebih suka menyendiri, lebih suka menghabiskan waktu sendiri
tanpa keramaian. Kedua jenis kepribadian ini sudah cukup familiar bagi kita.
Namun, sebenarnya ada satu lagi kepribadian yang sudah diperkenalkan sejak
tahun 1920 oleh Carl G. Jung. Kepribadian ini disebut ambivert, dan posisi
kepribadian ini berada di antara ekstrovert dan introvert. Sederhananya
demikian; individu yang memiliki kepribadian ambivert mampu berinteraksi dengan
mudah, seperti seorang esktrovert. Tetapi, mereka juga dapat nyaman dengan diri
sendiri atau menyendiri, mirip seperti orang introvert.
Pribadi dengan kecenderungan ekstrovert dapat
dikata lebih riskan mengalami stres dan akan merasa tidak nyaman kalau
mengikuti instruksi untuk melakukan physical
distance atau PSBB saat ini. Hal itu karena orang ekstrovert adalah mereka
yang mendapatkan ‘energi’ dari luar dirinya melalui interaksi dengan banyak
orang, sehingga kebijakan tersebut jelas membuat para ekstrovert tidak mendapat
kesempatan untuk mengisi energi mereka. Walau begitu, kita tidak bisa
menyangkal bahwa mereka yang introvert pun dapat mengalami perasaan jenuh akibat
physical distance dan PSBB. Kendati mereka lebih sering mendapatkan semangat
ketika menyendiri, tetapi banjiran informasi yang tidak jelas, serta situasi chaos yang terjadi saat ini tentu bisa
menimbulkan perasaan gelisah, tidak aman, bahkan terancam. Sedangkan, untuk
orang dengan kepribadian ambivert, sedikit bisa menyesuaikan diri dengan
situasi sekarang, sebab mereka memiliki keseimbangan untuk mengatasi berbagai
perasaan negatif yang muncul dari kebiasaan yang tidak biasa saat ini. Beragam
perasaan negatif tersebut memang wajar dialami setiap orang di tengah pandemi
ini.
Semua rasa negatif itu tidak bisa
ditolak begitu saja. Kita harus menerima keadaan ini dengan besar hati. Karena
itu, satu hal yang mungkin bisa dilakukan guna mengurangi rasa kurang nyaman di
tengah pandemi adalah dengan tidak melakukan emotional distancing yang
besar. Kalau dilihat dari arti katanya, emotional
distancing dapat dimaknai sebagai jarak emosional antara satu orang dengan
orang yang lain. Saat ini, kita diminta menjaga jarak sosial secara fisik
dengan orang lain, dan hal itu adalah wajib. Akan tetapi, kita harus selalu
mendekatkan jarak emosional kita dengan orang lain, terlebih keluarga dan orang
terdekat. Mungkin dengan sapaan basa-basi sederhana, menanyakan kabar, atau sekadar
berbagi cerita (curhat) dengan keluarga, sahabat, teman, atau kenalan
menggunakan beragam aplikasi media sosial yang ada saat ini. Kalau memang
sebuah pesan teks dirasa kurang, berilah waktu untuk menelepon atau melakukan
panggilan video (video call), supaya
kehadiran orang lain terasa lebih nyata. Dengan tindakan sederhana ini,
tentunya kita tidak akan merasa sendiri, jenuh, dan kesepian. Setidaknya kita akan
merasa lebih bergairah dalam menghadapi masa sulit ini. Dengan berbagi, saya
yakin kita akan merasa memiliki orang lain yang senasib-sepenanggungan dengan
yang kita alami dan rasakan. Adanya rasa lega karena tahu bahwa sebenarnya kita
tidak sendiri akan membuat kita menjadi lebih tenang.
Perlunya Social Media Distancing
Kita tahu bahwa penyebaran pandemi
Covid-19 begitu masif. Dan hal ini diimbangi dengan munculnya arus informasi
yang begitu deras. Kita tidak dapat membendung informasi yang begitu banyak
tetapi kadang tidak jelas dan simpang siur. Bisa jadi informasi yang riuh dan
bertubi-tubi di media sosial kemudian menjadi salah satu faktor yang memicu gangguan
psikis (mental). Di satu sisi, media sosial berguna bagi kita agar bisa cepat
tanggap terhadap persoalan yang ada. Akan tetapi, di sisi lain, jika informasi
yang diberikan tidak difilter dan dikritisi secara bijak, maka akan jadi
boomerang bagi kita sendiri.
Atas dasar itulah, maka mungkin
pemahaman mengenai physical distance dan PSBB perlu juga diterapkan
ketika menggunakan media sosial. Dengan lain kata, kita perlu melakukan social media distance (menjaga jarak
dengan media sosial). Karena itu, salah satu cara yang paling efektif adalah
dengan berusaha menyaring informasi apa saja yang ingin kita ketahui atau kita
dapatkan dari orang lain (grup media sosial lainnya). Selain itu, perlu
membatasi diri dan waktu dalam mengakses media sosial setiap harinya. Alangkah
baiknya kita mencari alternatif media atau kegiatan lain yang bisa memberi
hiburan dan kegembiraan, semisal, membaca buku terpopuler, menonton film,
mendengarkan musik, mencoba masakan baru yang belum pernah dibuat sebelumnya,
membersihkan dan menghiasi rumah sebagus mungkin, berolahraga ringan, atau
melakukan hobi tertentu sesuai apa yang menjadi kebiasaan kita masing-masing.
Jika kreatif kita akan menemukan bahwa terdapat begitu banyak hal yang masih
bisa kita lakukan di tengah himbauan untuk melakukan physical distance dan
PSBB saat ini. Karena itu, berjaraklah secara fisik. Perlebarlah jarak dengan
sosial media, dan sempitkanlah jarak emosional dengan orang lain,khususnya keluarga
dan orang-orang terkasih.
Komentar