Mama Pauh-Manus & Kepatuhan Menggunakan Masker (Antara Tradisi Vs Instruksi)


Kabut di kota itu jadi dingin yang tak bisa dilupakan. Merahnya tanah (lantai) karena percikan ludah, menjadikan saya menolak lupa pada pedih dan sepatnya aroma siri-pinang + kapur. Itulah kebiasaan kami orang Soe. Sebuah kota kecil dengan udara bak berada di dalam ‘kulkas’. Inilah kami dengan segudang tradisi khas nan unik. Kalian yang pernah ke kota Soe, pasti akan tahu tentang kebiasaan makan siri-pinang di semua kalangan. Ya,, kebiasaan itu dimaknai sebagai perekat persaudaraan dan perilaku pembuka pembicaraan di antara kedua orang yang tengah bertemu. Dalam bahasa uab meto, makan Siri-Pinang (+Kapur) biasanya disebut mama puah manus. Sirih dan pinang itu disuguhkan kepada seseorang dalam sebuah wadah yang disebut oko’ mama. Wadah ini bukanlah sekedar sebuah tempat biasa untuk meyuguhkan sirih dan pinang namun memiliki bentuk dan fungsi serta makna yang sangat kaya. Eksistensi budaya oko’ mama dan mama puah manus mencerminakn identitas diri, pandangan hidup dan sarana sosial telah ada sejak dulu. Tak ada seorang pun yang mengetahui kapan dimulainya budaya mama (mengunyah) sirih-pinang+kapur ini. Namun demikian menurut para tetua dan pemangku adat Atoin Meto (Orang Timor) di kabupaten Timor Tengah Selatan menjelaskan bahwa budaya ini merupakan peninggalan dari leluhur Atoin Meto. Sebagai salah satu simbol budaya yang merupakan simpul persahabatan dan kekerabatan sosial di kalangan komunitas tutur Meto, budaya ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keseharian orang Timor (khususnya orang Soe).
Saya sebagai seorang berdarah Flores yang sudah 28 tahun hidup di tanah Timor (Soe), cukup mengenal dengan baik kebiasaan mama puah manus. Bahkan saya sendiri sering mengunyah bersama teman-teman satu kompleks dan tetangga ketika sedang duduk santai di teras depan rumah atau ketika hendak membicarakan sesuatu. Untuk menambah nikmanya, sirih dan pinang akan dicampurkan dengan bubuk kapur sehingga ludah kita menjadi berwarna merah. Semakin merah, terasa semakin sepat dan ketagihan. Kebiasaan mengunyah sirpika (Siri-Pinang-Kapur), selain sebagai tradisi budaya yang tidak mungkin terhapuskan dalam keseharian, juga menjadi ikon kota yang sangat menggelikan orang baru yang belum mengenalnya secara baik. Saya sendiri, dulunya tidak menyangka kalau kebiasaan ini adalah tradisi budaya yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan anak-anak pun sudah diajar sejak kecil untuk mengunyah sirpika tersebut. Ya, kalau di NTT, khususnya di pulau Timor, kebiasaan ini sudah cukup familiar, tapi yang menurut saya sangat intens adalah orang Soe.
Akibat adanya kebiasaan yang sulit terlepaskan dari pribadi orang Soe, kebiasaan mengunyah sirpika (mamah puah manus) ini membuat banyak orang Soe mengalami kesulitan dalam menggunakan masker seperti yang dihimbaukan oleh Pemerintah setempat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ya,, ini persoalan yang unik. Bahwasannya, jika orang Soe tidak mengunyah sirpika saya kira mereka akan sulit menjalani keseharian hidupnya, (khususnya akan sulit berkonsentrasi). Saya tidak tahu, apa hubungannya mengunyah sirpika dengan konsentrasi. Bisa dianalogikan itu sama dengan orang yang sudah kecanduan kopi dan rokok. Jika tidak menyeruput secangkir kopi atau menghisap sebatang rokok, akan sulit melakukan aktivitas harian. Akhhh,, mungkin ini terasa sedikit berlebihan. Tetapi, memang demikian adanya. Itulah kebiasaan yang sudah membuat orang Soe mengalami adiksi atau ‘kecanduan’.
Dengan pengalaman adiksi mengunyah sirpika tadi, saya kira orang Soe tidak bisa kita katakan ‘membangkang’ terhadap anjuran dan himbauan untuk menggunakan masker. Bukan mereka tidak mau, tetapi keadaan memaksa mereka untuk lebih memilih mama puah manus. Saya belum menemukan apakah ada khasiat dari mama puah manus sehingga dianggap oleh orang Soe sebagai penangkal Covid-19. Lucunya, ada orang yang percaya bahwa makan sirpika adalah penangkal yang mempan. Saya kira kita bisa melakukan penelitian lebih lanjut soal ini. Terlepas dari itu semua, saya mau katakan bahwa kebiasaan makan sirpika orang Soe bukan alasan utama mereka enggan (sulit) menggunakan masker. Tetapi, ini hanyalah alasan praktis, di mana setelah mengunyah, mereka masih tetap patuh untuk memaki masker. Untuk itulah, kita perlu maklum dengan kebiasaan budaya yang sulit terlepaskan dari keseharian orang Soe, sembari terus mengingatkan bahwa tindakan mencegah penyebaran virus dengan memakai masker adalah juga hal urgen yang harus dilakukan. Sebagai orang Soe, saya pun merasa terpanggil untuk mengumandagkan pentingnya menggunakan masker dalam masa pendemi ini kepada semua orang yang saya temui di sini. Ini saja secuil kisah dari kami, anak-anak di tengah pulau Timor, bagian Selatan.
Ludah merah, bukan kami kepala batu; Itu hanya simbol pemersatu, supaya kita tetap utuh, perangi wabah sampai runtuh, tanpa mengerutu.

Soe - Kota BERSEHATI : Bersih, Sehat, Aman, Tertib Indah.


Komentar

Postingan Populer