Tendensi ‘Paranoid’ ditengah Amukan Wabah
Masifnya penyebaran wabah Covid-19 telah
mengacaukan semua perspektif, sehingga mau tidak mau kita harus berusaha
meminimalisir perkembangannya dengan menjaga kesehatan tubuh, terlebih kesehatan
psikis. Mengapa? Sebab kondisi psikis dan mental merupakan kesadaran dasar yang
sangat urgen dalam pribadi individu. kondisi psikis perlu mendapat perhatian
serius agar kita tidak terjerumus ke dalam gangguan kesehatan mental (psikologis)
lainnya. Memang ada begitu banyak gangguang psikologis dan mental yang bisa
terjadi dalam diri kita, semisal stres yang berlebihan, rasa bosan, ketakutan
dan kecemasan, gelisah, sepanjang pandemic yang masih belum turun persoalannya.
Kita tak dapat mengelak realita yang terjadi saat ini. Karena itu, perlu ada
pemahaman yang komprehensif terkait hal-hal menyangkut Covid-19 dengan segala
kompleksitas permasalahannya. Kita harus berusaha agar pribadi kita tidak
terganggu dengan situasi ini, mengingat secara psikologis, setiap individu
sangat rentan untuk mengalami gangguan kepribadian, dan salah satu gangguang
mental yang mulai muncul belakangan ini di kalangan masyarakat adalah paranoid
(lebih dikenal dengan sebutan singkat ‘parno’). Memang sedikit ‘ekstrim’ ketika
saya mengatakan bahwa saat ini masyarakat kita mulai menunjukkan sikap dan
perilaki yang berindikasi ke arah paranoid ketika berhadapan dengan persoalan
wabah Covid-19.
Mengenal Gangguan
Kepribadian Paranoid (Paranoia)
Gangguan kepribadian paranoid (paranoid personality disorder) masuk ke
dalam tipe kepribadian eksentrik. Artinya, perilaku orang yang paranoid
seringkali dianggap aneh atau tidak biasa. Dalam arti yang sederhana, gangguan kepribadian
paranoid adalah salah satu jenis kelainan kepribadian yang mempengaruhi pola
pikir, fungsi, dan perilaku penderitanya. Penderita paranoid sangat sering
merasa curiga terhadap orang lain dan situasi yang sedang terjadi. Mereka
biasanya tidak bersentuhan dengan dunia nyata dan merasa bahwa yang mereka pikirkan
adalah hal yang mengancam dan menakutkan. Mereka selalu menganggap ada orang
lain yang akan mengancam, dan membahayakan. Akibatnya, mereka tidak akan
mendiskusikan perasaannya atau curhat ke orang lain. Mereka akan memendam
kecurigaannya seorang diri, dalam jangka waktu yang lama.
Bertolak dari pemahaman sederhana tadi,
bisa dikata bahwa aktivitas masyarakat yang sedang terjadi dalam masa pandemi
Covid-19 ini, sedikti banyak sudah menjurus ke arah paranoid. Memang bukan
paranoid yang parah, akan tetapi indikasinya mengarah ke paranoid biasa. Hemat
saya, tindakan, sikap dan perilaku masyarakat yang terjadi saat ini sudah
sangat ‘berlebihan’. Bahwasannya, kecurigaan yang besar, stigma negatif, dan
ketakutan terhadap orang lain (penderita Covid-19 dan keluarganya, beserta para
tenaga medis) telah merusak tatanan relasi sosial yang terjalin. Orang-orang
yang paranoid, akan selalu membangun ‘benteng’ tinggi di sekitarnya. Sebab,
mereka percaya akan selalu ada orang lain yang mencoba menyakiti dan mengancam
mereka. Tentu, kecurigaan tersebut umumnya tidak berdasar. Karena kecurigaan
yang berlebih ini, orang yang paranoid akan sulit untuk dekat dengan orang di
sekitarnya, baik di lingkungan pertemanan, maupun bertetangga. Kalau dilingkup kita
orang NTT, penderita paranoid, mungkin bisa disederhanakan sebagai gangguan ’’jangan-jangan atau jangan sampai, saya…..
jangan sampai dia…..jangan-jangan itu…..’’dstnya. Pola pikir yang selalu
melihat situasi dan keberadaan orang lain sebagai ‘jangan-jangan’, tidak boleh
dibiarkan begitu saja, karena bisa menghasilkan stigma negatif, dan adanya
pengucilan terhadap orang lain. Semua ini merupakan indikasi paranoid biasa (soft paranoid)
yang kalau dibiarkan bisa berakibat lebih parah.
Lantas, apa yang membuat seseorang menjadi
paranoid? Hingga saat ini, penyebab gangguan kepribadian paranoid belum
diketahui secara pasti. Namun, ada kemungkinan faktor biologis dan psikologis
berperan di dalamnya. Orang yang mengidap gangguan ini umumnya memiliki
keluarga yang pernah mengidap skizofrenia dan gangguan delusi (waham), sehingga,
kondisi genetik juga dianggap berperan sebagai faktor risiko paranoid. Akan
tetapi, jika dikaitkan dengan situasi saat ini, maka sudah pasti mereka yang
mengalami gangguan paranoid selama pandemi Covid-19, umumnya disebabkan oleh
berbagai hal, antara lain; ketakutan dan kecurigaan berlebihan kepada penderita
Covid-19 dan keluarganya, beserta para tenaga medis, adanya rasa terasing
selama menjalani karantina, kesedihan dan kesepian karena jauh dari keluarga
atau orang yang dikasihi, kebosanan dan kejenuhan, ditambah lagi kebingungan
akibat informasi yang simpang siur.
Jenuh, Cemas,
dan Curiga : Sumber Awal Paranoid
Kebijakan Pemerintah tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB), pada nyatanya membuat banyak orang harus
beraktivitas tak sebagaimana biasa. Akibat ‘dirumahkan’ banyak masyarakat mulai
merasa penat. Kepenatan itu membuat orang mulai merasa cemas dan takut akan kebutuhan
hidup sehari-hari. Ketika rasa cemas atau gelisah itu semakin besar, dan
ditambah lagi dengan berbagai informasi tentang covid-19 yang begitu banyak,
maka pikiran , perasaan, dan perilaku seseorang akan terganggu. Dari sini,
muncul rasa curiga terhadap orang lain yang tak terbendungi karena mereka
melihat orang lain sebagai pesaing, dan sebagai orang yang menakutkan dan
membahayakan. Inilah yang menyebabkan menjamurnya stigma negatif masyarakat
kepada para pasien yang positif corona beserta keluarga, para tenaga kesehatan,
para ODP atau pun PDP.
Rasa jenuh, cemas, dan curiga yang
berlebihan, pada hakekatnya menambah beban dan tekanan psikologis. Keluarga
pasien, dan tenaga kesehatan, bahkan dijauhi dan dianggap sebagai carrier atau ‘penyebar’ virus. Akibatnya, segala aktivitas mereka terhambat,
karena harus menjaga jarak, menghindari kontak langsung dengan orang lain, dan mengisolasi
diri. Gejala negatif ini, merupakan awal dari seorang sudah terpapar paranoid
sekalipun masih dalam level biasa.
Mengatasi Tendensi
Paranoid ditengah Wabah Covid-19
Setiap gangguan kepribadian memiliki
standar atau kriteria untuk didiagnosis. Namun, pada umumnya, diagnosis
gangguan kepribadian dilihat dari perilaku penderita yang menyimpang dari
norma-norma sosial dan terjadi dalam jangka panjang. Memang kita tahu bahwa
gangguan kepribadian paranoid ini kalau dibiarkan akan berbahaya. Walau
demikian, gangguan kepribadian ini, masih bisa disembuhkan. Terdapat dua cara
yang lazim dilakukan yakni dengan psikoterapi dan farmakoterapi. Menyembuhkan
orang paranoid dengan metode psikoterapi memang menjadi tantangan tersendiri
bagi para psikolog, sebab kepribadian yang mereka miliki akan membuat mereka
cenderung menghindar, dan tidak mau menerima perawatan, karena mereka tidak
merasa ada yang salah dalam dirinya. Nanti, ketika mereka mau menerima bahwa
memang ada yang salah di dalam dirinya, maka perawatan bisa berjalan. Perawatan
dapat dilakukan melalui terapi wicara atau psikoterapi, seperti membantunya
menghadapi kondisi tersebut, mengajak untuk berkomunikasi dengan orang lain di
situasi sosial yang terjadi, sembari mengurangi rasa paranoia yang mereka
rasakan. Disamping itu, untuk mendukung penyembuhan yang intens, maka pada
beberapa kasus, pemberian obat juga dilakukan, terutama pada penderita paranoid
memiliki riwayat depresi dan gangguan kecemasan. Jenis obat yang diberikan bisa
beragam, antara lain antidepresan, dan antipsikotik. Salam, sehat hati, sehat
pikir.
Wardy Kedy
Alumnus Magister Psikologi UGM
Komentar